REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi antara Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan diresmikan dalam rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Gerindra pada 13 Agustus mendatang. Namun, forum tersebut belumlah meresmikan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
"Kalau soal figur ya teknis lah nantinya. Tapi sampai hari ini, ya namanya dinamika, ya seperti itu masih deklarasikan koalisi PKB dengan Gerindra. Ada piagam deklarasi," ujar Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/8).
Perumusan pasangan capres-cawapres, jelas Jazilul, akan dibicarakan usai Rapimnas Partai Gerindra. Kendati demikian, dia menyampaikan, bahwa salah satu hasil Piagam Deklarasi Partai Gerindra-PKB adalah mengutamakan kader untuk menjadi capres-cawapres.
"Piagam deklarasi itu menyepakati presiden dan wakil presiden itu dari kader partai masing-masing. Ya kan kita belum sebut nama dari kader partai masing-masing, kader partai terbaik di Gerindra itu Pak Prabowo, kader partai terbaik di PKB Gus Muhaimin," ujar Jazilul.
Dia yakin, pembicaraan terkait pasangan capres-cawapres antara PKB dengan Partai Gerindra tak akan menyebabkan permasalahan. Pasalnya, hal tersebut merupakan hasil musyawarah dari kedua partai.
"Kalau memang dari hasil diskusi,hasil rembukan, musyawarah dengan Gerindra menemukan pasangan A dan B, itu yang akan menjadi kesepakatan," ujar Wakil Ketua MPR itu.
Direktur Eksekutif TRUST Indonesia Consulting Azhari Ardinal menilai wacana koalisi antara Gerindra dan PKB bakal menjadi warna baru dalam konstelasi politik nasional. Bahkan, menurut dia, koalisi Gerindra-PKB akan menjadi ikon baru kekuatan nasionalis-religius dalam Pemilu 2024.
Azhari menuturkan dalam sejarah politik Indonesia terminologi nasionalis dan religius sering digunakan untuk menggambarkan dua identitas yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Di masa lalu, misalnya, nasionalis sering digunakan untuk menggambarkan kaum abangan dan religius untuk menggambarkan kaum santri.
“Meskipun dewasa ini identitas tersebut tidak lagi mengemuka, namun harus diakui pada dasarnya akar identitas politik rakyat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua kekuatan besar tersebut," ujar Azhari.