Jumat 05 Aug 2022 05:36 WIB

Soal Dugaan Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri, Ini Tanggapan PP Muhammadiyah

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menegaskan posisi beragama yang tepat.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu
Foto: Prayogi/Republika.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar soal sekolah negeri yang memaksakan penggunaan jilbab bagi siswinya mendapat sorotan banyak pihak. Walaupun penggunaan jilbab merupakan bagian dari perintah agama Islam, pemaksaan bagi mereka yang di luar syarat untuk diwajibkan akan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti menegaskan posisi beragama yang tepat. Di mana, beragama adalah bagian dari hak asasi manusia.

Baca Juga

"Bagi umat Islam, berjilbab di ruang publik adalah bagian dari ajaran Islam. Meskipun demikian, soal memakai jilbab atau tidak itu urusan pribadi. Bagi yang mau memakai jilbab tidak boleh dilarang," kata Abdul Mu'ti kepada wartawan, Kamis (4/8/2022).

Karena, menurut dia, memaksakan penggunaan jilbab bagi mereka yang tidak ingin berjilbab atau tidak disyaratkan bagi agamanya berjilbab juga akan jadi persoalan tersendiri. Secara pribadi ia menilai alangkah baiknya bila seseorang beragama itu muncul dari dalam hati dan keyakinannya, bukan dari pemaksaan.

"Jadi bagi yang tidak mau berjilbab tidak perlu dipaksakan," tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyayangkan jika memang ada sekolah negeri/umum di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang melakukan pemaksaan siswi untuk menggunakan jilbab di luar keinginan siswi. Ia menilai pemaksaan di luar kehendak tersebut seharusnya tidak terjadi.

"Saya menyayangkan jika memang sekolah negeri/umum melakukan pemaksaan kepada seorang siswi untuk menggunakan atribut keagamaan di luar kehendaknya," kata Hetifah.

Karena ia menilai seharusnya atribut keagamaan itu menjadi ranah individu. "Lain ceritanya jika sekolah agama/madrasah yang memang memiliki aturan sendiri," imbuhnya.

Ia menambahkan sejatinya pada 2021, telah terbit SKB 3 Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi). Di dalamnya secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam serta atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Sayangnya SKB tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dengan adanya kabar pemaksaan kembali atribut keagamaan seperti sekarang, menurut dia maka regulasi SKB 3 Menteri itu perlu diadakan kembali.

"Jika betul ada pemaksaan, dapat menjadi tanda bahwa memang regulasi semacam SKB 3 Menteri tersebut perlu kita bahas bersama lagi," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, siswi kelas X di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, mengaku dipaksa berjilbab oleh guru BK di sekolah tersebut. Akibatnya, siswi itu disebut mengalami depresi dan sampai mengurung diri.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement