REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Mantan Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, dilaporkan melanjutkan pelariannya ke Thailand. Mantan presiden yang digulingkan tersebut diperkirakan tiba di Thailand pada Kamis (11/8/2022).
Rajapaksa mencari perlindungan sementara di negara Asia Tenggara, setelah melarikan diri dari Sri Lanka bulan lalu. Dia melarikan diri setelah ribuan pengunjuk rasa menggeruduk kediaman resminya dan menuntutnya untuk mundur, karena tidak becus menangani krisis ekonomi.
Rajapaksa terbang ke Singapura pada 14 Juli, melalui Maladewa. Singapura telah memperpanjang izin tinggal Rajapaksa selama 14 hari tambahan. Dua sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters, izin kunjungan jangka pendek yang dikeluarkan ketika Rajapaksa tiba dalam kunjungan pribadi ke Singapura telah diperpanjang.
Dengan perpanjangan izin tersebut, maka Rajapaksa dapat tinggal di Singapura hingga 11 Agustus. Pada saat Rajapaksa melarikan diri, pemerintah Singapura mengatakan, Rajapaksa belum diberikan suaka, dan berada di negara itu untuk kunjungan pribadi.
"Saya yakin dia pada akhirnya akan mempertimbangkan untuk kembali ke Sri Lanka, tetapi tidak ada sikap politik atau sikap lain yang pasti mengenai hal ini," kata juru bicara pemerintah Sri Lanka Bandula Gunwardena.
Rajapaksa mengajukan surat pengunduran diri kepada ketua parlemen. Tak lama berselang, parlemen menggelar pemilihan presiden. Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe kemudian terpilih menjadi presiden menggantikan Rajapaksa.
Wickremesinghe mengatakan, belum saatnya Rajapaksa kembali ke Sri Lanka. Karena kehadiran Rajapaksa dapat mengobarkan ketegangan politik.
"Saya tidak yakin ini saatnya dia kembali. Saya tidak punya indikasi dia akan segera kembali," kata Wickremesinghe dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal.
Sri Lanka telah melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang paket bailout. Pada April, Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar 12 miliar dolar AS. Sri Lanka memiliki utang yang harus dibayar senilai hampir 21 miliar dolar AS, yang akan jatuh tempo pada akhir 2025.
Wickremesinghe mengharapkan kesepakatan tingkat staf IMF akan tercapai pada akhir Agustus. Dia menambahkan bahwa, Sri Lanka harus mengamankan lebih dari 3 miliar dolar AS dari sumber lain tahun depan untuk mendukung impor penting termasuk bahan bakar, makanan dan pupuk. Wickremesinghe juga mengatakan, Sri Lanka akan melihat peningkatan yang nyata dalam keadaan ekonomi mereka.