REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- China dan Thailand memulai latihan angkatan udara gabungan bertajuk "Falcon Strike", Ahad (14/8/2022). Itu merupakan latihan militer gabungan pertama kedua negara dalam beberapa tahun terakhir.
Dilaporkan laman The Straits Times, Kepala Staf Angkatan Udara Thailand Marsekal Prapas Sornchaidee mengungkapkan, latihan tersebut bakal digelar hingga 25 Agustus mendatang. Adapun lokasi latihan berada di timur laut Thailand.
Menurut Sornchaidee, latihan gabungan angkatan udara itu dimaksudkan untuk "memperkuat hubungan dan kesepahaman" dengan China. Dia tak menjelaskan lebih detail mengenai hal tersebut.
Pekan lalu Kementerian Pertahanan (Kemenhan) China mengungkapkan, mereka akan mengerahkan jet tempur, pesawat pembom, dan pesawat peringatan dini udara (AEW) dalam latihan gabungan dengan Thailand. Kemenhan China mengatakan, latihan tersebut akan mencakup pelatihan"dukungan udara, serangan terhadap target darat, dan penyebaran pasukan skala kecil dan besar".
Thailand dan China rutin menggelar latihan angkatan udara gabungan sejak 2015. Kegiatan itu terhenti setelah pandemi Covid-19 melanda dunia. Thailand berusaha memperkuat hubungan pertahanannya dengan Negeri Tirai Bambu.
Negeri Gajah Putih merupakan salah satu negara pertama yang membeli perangkat keras angkatan laut China pada 2017. Thailand kemudian membuat kesepakatan pembelian dua kapal selam China senilai 724 miliar dolar AS pada 2020. Namun implementasinya ditunda menyusul adanya aksi protes dari warga Thailand.
Pada 4-7 Juli lalu, China menggelar latihan militer terbesar di Selat Taiwan. Seluruh armada, yakni udara, darat, dan laut, dilibatkan dalam latihan tersebut. Beijing bahkan menguji peluncuran rudal balistik. Latihan itu memanaskan tensi di Selat Taiwan.
China memutuskan menggelar latihan tersebut setelah Ketua House of Representatives Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi berkunjung ke Taipei. Beijing memprotes keras kunjungan Pelosi. China diketahui mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang mengatakan, China telah secara brutal menggunakan tindakan militer untuk mengganggu perdamaian dan stabilitas regional. “Kami tidak akan pernah tunduk pada tekanan. Kami menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi, serta percaya bahwa warga Taiwan tidak menyetujui tindakan intimidasi China dengan kekerasan dan gemerincing pedang di depan pintu kami,” ucapnya kepada awak media pada 7 Juli lalu, dilaporkan Bloomberg.