REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pemerintah menyebut kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite akan habis pada September 2022. Hal ini disusul kuota BBM Solar akan habis pada Oktober 2022.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan kuota Pertalite sebanyak 16,4 juta kiloliter sudah terpakai akhir Juli 2022, dari total kuota 23 juta kiloliter. Sedangkan kuota Solar sudah terpakai 9,88 juta kiloliter dari total alokasi sebanyak 15,1 juta kiloliter.
“Kalau diikuti pertengahan bahkan akhir September habis volumenya khusus Pertalite. Sedangkan kuota Solar, Oktober akan habis kuotanya, mengikuti tren,” ujarnya saat Rapat Kerja Komite IV DPD, Kamis (26/8/2022).
Sri Mulyani menyebut pemerintah sudah berupaya secara maksimal melalui APBN untuk menahan harga energi melalui anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp 502,4 triliun. Adapun anggaran ini naik tiga kali lipat dari alokasi sebelumnya sebesar Rp 158 triliun.
"Pemerintah minta persetujuan kepada Banggar DPR penambahan subsidi dan kompensasi hingga Rp 502,4 triliun, hitungan pemerintah dengan menggunakan harga ICP sebesar 100 dolar AS per barel dengan kurs nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.450," ucapnya.
Menurutnya konflik geopolitik Rusia dan Ukraina memicu harga minyak mentah sebesar 105 dolar AS per barel dan membuat nilai tukar rupiah ikut terdepresiasi sebesar Rp 14.750.
“Jika volume konsumsi Pertalite dan Solar tidak dikendalikan di tengah harga minyak mentah dunia dan kurs nilai tukar rupiah yang masih mengalami fluktuasi, anggaran senilai Rp 502,4 triliun tersebut tidak lagi bisa lagi menahan harga energi, terutama Pertalite dan Solar,” ucapnya.
Sri Mulyani merinci saat ini harga jual eceran Pertalite sebesar Rp 7.650 per liter, padahal kalau dengan kurs ICP 100 dolar AS per barel dan kurs sebesar Rp 14.450, seharusnya harga keekonomian Pertalite sebesar Rp 14.450 per liter. Adapun selisih sebesar Rp 6.800 per liter harus dibayarkan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai kompensasi.
Kemudian Solar, dengan harga jual eceran sebesar Rp 5.150 per liter, dengan harga keekonomian seharusnya di jual sebesar Rp 13.950 per liter, sehingga ada selisih Rp 8.300 per liter yang kemudian harus dijamin pemerintah lewat kompensasi.
"Kita jualnya hanya Rp 7.650 per liter. Ada perbedaan Rp 6.800 per liter itu harus kita bayar ke Pertamina. Itulah subsidi kompensasi. Pada Januari-Juli ini, harga rata-rata dari ICP minyak Indonesia 105 dolar AS, ada beda lima dolar AS. Kita mintakan 100 dolar AS tapi ternyata 105 dolar AS,“ ucapnya.
Selain itu, pemerintah juga menanggung subsidi lebih besar LPG tabung 3 kilogram. Saat ini, harga LPG tabung 3 kilogram hanya Rp 4.250 per kilogram. Padahal, harga keekonomiannya Rp 18.500 per kilogram.
“Saat ini, pemerintah masih mempertimbangkan berbagai opsi untuk menghadapi risiko jebolnya subsidi BBM, salah satu opsi yang dipertimbangkan untuk menaikkan harga BBM,” ucapnya.