REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Zhang Meng mengalami gangguan kesehatan mental Desember tahun lalu. Wanita berusia 20 tahun itu mendapati dirinya menangis terisak-isak di tangga asramanya. Dia merasa putus asa oleh kebijakan penguncian atau lockdown yang berulang kali dilakukan untuk mengatasi Covid-19 di kampusnya di Beijing.
Dengan kebijakan penguncian tersebut, maka Zhang tidak dapat bertemu dengan teman-temannya secara tatap muka. Zhang mengatakan, dia mendambakan interaksi sosial secara langsung.
"Pembatasan telah melepaskan jaring pengaman yang menahan saya, dan saya merasa sangat rapuh," ujar Zhang.
Pada Desember tahun lalu, Zhang didiagnosis dengan depresi berat dan kecemasan. Bagi Zhang, penguncian dan depresi telah benar menghancurkan pandangan hidupnya. Setelah lulus dari sekolah menengah atas, Zhang berkeinginan untuk belajar bahasa dan sastra China. Namun dia kecewa dengan kebijakan pemerintah yang memberlakukan penguncian ketat secara berkala. Hal ini telah memicu minat Zhang untuk belajar di luar negeri.
"Saya cukup patriotik ketika saya lulus dari sekolah menengah, tapi perasaan ini perlahan-lahan menghilang. Bukannya saya tidak percaya lagi kepada pemerintah, ini lebih merupakan perasaan bahwa bau masker dan sanitiser telah menembus jauh ke dalam tulang saya," kata Zhang.
Serupa dengan Zhang, Yao, juga mengalami gangguan kesehatan mental. Yao yang hanya mengidentifikasi dirinya dengan nama depan, tidak dapat memahami mengapa kebijakan penguncian begitu sulit. Dia mengatakan bahwa, suatu hari dia harus bersembunyi di toilet sekolahnya dan menangis sangat kencang.
Pada awal 2021 saat berada di universitas di Beijing, Yao mencoba bunuh diri. Dia tidak mampu menghilangkan depresi, dan kesedihannya karena tidak mengambil kursus yang dia inginkan. Ketika itu, Yao takut mengecewakan ayahnya.
China telah menerapkan beberapa tindakan penguncian paling keras dan paling sering di dunia dengan tujuan untuk membasmi wabah Covid-19. China menerapkan kebijakan "nol Covid-19" dengan alasan menyelamatkan nyawa penduduknya. Hingga saat ini, China mencatat angka kematian akibat Covid-19 yang rendah yaitu sekitar 5.200.
Dampak kebijakan lockdown yang ketat membuat para ahli medis khawatir dengan kesehatan mental kaum muda. Zhang dan Yao, telah menjadi korban dari kebijakan penguncian yang berkepanjangan.
"Penguncian di China telah menimbulkan kerugian besar bagi manusia dengan bayang-bayang kesehatan mental yang berdampak buruk terhadap budaya dan ekonomi China selama bertahun-tahun yang akan datang," ujar pendapat editorial bulan Juni di jurnal medis Inggris Lancet.
Secara khusus, para ahli mengkhawatirkan kesehatan mental remaja dan orang dewasa muda, yang lebih rentan karena usia mereka dan kurangnya kontrol atas kehidupan mereka. Mereka juga harus menghadapi tekanan pendidikan dan tekanan ekonomi yang jauh lebih besar daripada generasi sebelumnya.
Jumlah anak muda yang terkena dampak akibat kebijakan lockdown yang berkepanjangan berpotensi meningkat. Kementerian Pendidikan memperkirakan pada 2020, sekitar 220 juta anak-anak dan remaja China telah dikurung di rumah untuk jangka waktu yang lama karena pembatasan Covid-19. Kementerian Pendidikan tidak menanggapi permintaan Reuters untuk meminta update angka terbaru dan komentar tentang topik tersebut.