Ahad 04 Sep 2022 09:56 WIB

Kuasa dan Istidraj: Nikmat dalam Kesesatan adalah Perangkap

Kekuasaan sering dakali bisa menjadi perangkap kesesatan.

Seseorang berdoa di padang Arafah sewaktu haji. (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Saudi Press Agency
Seseorang berdoa di padang Arafah sewaktu haji. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Advokad Pendiri LBH Yusuf dan Sekjen IKA UII

Tak sedikit manusia hidup dengan gebyar kemewahan. Pangkat dan jabatannya pun kian mentereng meski hidupnya berkalang kezaliman dan kesesatan. Kenikmatan duniawi yang didapat membuatnya kian tenggelam dan lupa diri. Seolah-olah ia merasa mendapat privilege dari Tuhan, atau bahkan menganggap Tuhan tidak ada. 

Sering kali demi jabatan yang diidamkan, seseorang menghalalkan segala cara, menjilat dan menikam. Begitu jabatan diperoleh ia zalim dan sewenang-wenang. Dunia seakan diletakkan dalam genggamannya. Siapa yang melawan kuasanya, akan tamat riwayatnya. Segala kemaksiatan dalam berbagai wajah diperbuatnya, dosisnya pun kian bertambah. Makin hari makin menggila.       

Bagi sebagian kita yang melihat mereka dari luar, kadang ada perasaan marah, muak dan kesal. Mengapa orang-orang zalim itu dibiarkan semakin sesat dan berkuasa dengan pongahnya?. 

Pada titik ini, tahukah kita, di balik nikmat yang berlimpah di tengah kesesatan itu ada ujian tersembunyi dari Allah SWT? Inilah yang dinamakan Istidraj. Istidraj adalah perangkap kesenangan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang dimurkai-Nya agar mereka terus menerus lalai. Ia terjebak dalam kenikmatan hidup, padahal ia semakin jauh dari Allah. Dengan kata lain, istidraj adalah azab Allah dalam bentuk kenikmatan dunia. 

Dalam Surah Luqman ayat 24, Allah berfirman:

“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras”.

Ciri-ciri Istidraj juga bisa berbentuk rasa tenang dan tenteram dalam menjalani kehidupan. Padahal, dirinya selalu berkubang dalam kemaksiatan dan angkara murka. Sebesar apa pun dosa yang diperbuat terasa biasa saja, tidak sedikit pun merasa bersalah atau menimbulkan kegelisahan di hati. Imannya sudah demikian tumpul, nuraninnya gelap dan pekat. Ibadah dikesampingkan, maksiat dikedepankan. 

Padahal, Allah SWT dalam firman-Nya di Surah Al-An'am ayat 44 dan 45 sudah memperingatkan hambanya:

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka, orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Di Surah Al-Qalam Ayat 44, Allah juga berfirman: 

“Kelak Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan mengenai ayat tersebut bahwa mereka (orang yang diberikan kenikmatan) tidak merasakan hal itu, bahkan mereka mengira bahwa hal itu sebagai penghormatan dari Allah untuk mereka; padahal kenyataannya kebalikannya, yaitu penghinaan.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement