Kamis 08 Sep 2022 09:44 WIB

Tonic Immobility, Kondisi yang Menyebabkan Korban Kekerasan Seksual tak Bisa Melawan

Tonic immobilitymembuat korban tak bisa berteriak, bergerak, dan berlari.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Korban kekerasan seksual kerap mengalami tonic immobility yaitu kelumpuhan sementara yang membuatnya tidak bisa melawan. (ilustrasi)
Korban kekerasan seksual kerap mengalami tonic immobility yaitu kelumpuhan sementara yang membuatnya tidak bisa melawan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan seksual masih menjadi momok menakutkan bagi para korbannya. Sebab, masih banyak orang yang menganggap itu sebagai aib sehingga para korban memilih bungkam ketimbang harus mengungkapkannya.

Pengabaian terhadap korban kekerasan seksual juga karena adanya victim blamming (menyalahkan korban). Bahkan ada pandangan picik dan sesat yang menganggap "korban tidak melawan berarti menikmatinya". Padahal kondisi korban yang "diam" ketika kekerasan seksual terjadi adalah akibat tonic immobility (kelumpuhan sementara korban karena trauma). Hal ini yang membuat korban tidak bisa berlari, tidak bisa bergerak, dan tidak bisa berteriak.

Baca Juga

“Itu yang kami kasih literasi ke masyarakat supaya mereka paham bahwa ada situasi kelumpuhan sementara, jangan sampai menyalahkan korban,” ujar Founder perEMPUan, Rika Rosvianti, saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Secara khusus, perEMPUan hadir untuk isu kekerasan seksual di transportasi publik. Namun sejak pandemi Covid-19, bahasan mulai meluas tentang kekerasan seksual secara umum di ruang publik baik yang terjadi secara luring maupun daring.

Teriakan dan kampanye terus dilakukan agar menampar para pelaku lewat sindiran, tetapi harus dibarengi pula dengan sikap nyata masyarakatnya. Lewat akun Instagram @_perempuan_, mereka kerap memberikan informasi seputar kekerasan seksual.

Salah satunya soal sesat pikir "kekerasan seksual adalah aib" yang harus terus diteriakkan agar pandangan masyarakat berubah. “Jika ini diluruskan, kasus yang dianggap aib itu adalah kekerasan seksual yang dilakukan pelaku. Sehingga, pelaku yang seharusnya merasa malu atas hal yang diperbuatnya dan bertanggung jawab penuh atas pemulihan psikis korban,” tulis sebuah unggahan dalam akun tersebut.

Membungkam korban, membiarkan kekerasan seksual terjadi dan berulang, serta mengeluarkan korban dari institusi di mana ia mengalami kekerasan seksual adalah cara yang dipilih institusi untuk mencemarkan nama baiknya sendiri. Lepaskan stigma aib, bantu korban laporkan kasusnya, cari info sebanyak-banyaknya untuk memudahkan korban, dan bantu korban menjangkau penyedia layanan terdekat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement