REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perang Shiffin terjadi setelah Rasulullah SAW wafat, tepatnya di masa ke khalifahan Ali bin Abdul Muthalib. Perang ini terjadi pada tahun 30 Hijriyah atau 656 Masehi.
Dalam perang ini ada tokoh sentral, yang berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berperang. Dia adalah Amru bin Ash.
Abdullah Syukur Al-Azizi dalam bukunya "Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlelengkap" mengatakan, perang ini terjadi karena Muawiyah sebagai Gubernur Syiria ingin membalaskan dendam atas kematian Khalifah Usman. Namun yang diperingi, Muawiyah, bukan pelaku pembunuh Utsman, tetapi malah Khalifah Ali.
"Namun, beberapa riwayat menyebutkan bahwa penyebab sebenarnya hanyalah karena Muawiyah yang telah lama menjadi gubernur yang otonom sejak diangkat Khalifah Umar tidak mau kehilangan jabatannya dengan membait kepada khalifah Ali," katanya.
Saat itu, jabatannya digantikan oleh Sabi bin Junaif. Sebenarnya, ia hendak mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan khalifah Utsman. Peristiwa-peristiwa di kemudian hari membuktikan bahwa setelah mengamankan pemerintahan, Muawiyah tidak mengambil satupun langkahnya nyata untuk membalas darah Utsman.
"Dia sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh Utsman," katanya.
Khalifah Ali menyadari bahwa peperangan tak akan terelakkan. Namun, Ia tetap berusaha menyadarkan Muawiyah dan mengajak berdamai, demi keutuhan persaudaraan dalam Islam.
Pada hari Senin 12 Rajab 36 Hijriah setelah kembali ke Kufah dari perang Jamal, Ali mengutus Jarir bin Abdullah Albazali untuk menemui Muawiyah di Damaskus dengan membawa sepucuk surat dengan mengatakan bahwa kaum Muhajirin dan Anshor telah membaiat Ali.
Oleh karena itu Muawiyah juga harus membait Ali, terlebi dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman supaya khalifah dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Alquran dan Sunnah.
Tetapi, Muawiyah justru menahan Jarir berbagai alasan, dan setelah berunding dengan Amru bin Ash, ia membangkang dengan dalil kasus pembunuhan Utsman. Pada akhir hijrah 36 Hijriyah/657 Masehi, Khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria Utara.
Mereka menyusuri Sungai Eufrat, namun sungai tersebut telah dikuasai oleh pasukan Muawiyah dan mereka tidak mengizinkan Ali memakai air sungai itu. Awalnya, Ali mengirim utusan agar sungai bisa digunakan oleh kedua pihak kemanapun Muawiyah menolak.
Akhirnya, Ali mengirim tentaranya di bawah pimpinan Panglima Asytar Al-Nahki dan berhasil merebut aliran sungai Eufrat. Meskipun sungai itu dikuasai pihak Ali, mereka tetap mengijinkan tentara Muawiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Selanjutnya, pihak Khalifah Ali mendirikan garis pertahanan di dataran Zhiffin, dan masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Lalu, Ali mengirim utusan di bawah pimpinan panglima Baysir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan pihak Muawiyah.
Pada bulan Muharram 37H/658M, mereka mencapai persetujuan untuk menghentikan perundingan untuk sementara. Dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.
Sebenarnya, ini sangat merugikan Ali karena akan mengurangi semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Pada bulan Safar 37H/685M peperangan tak terhindarkan.
Terjadilah perang Shiffin dengan kekuatan 95 ribu orang dari pihak Ali dan 85 ribu orang dari pihak Muawiyah. Pada saat perang, Imran bin Yasir tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membagkitkan semangat tempur yang luar biasa pada pasukan Ali, sehingga banyak korban pada pihak Muawiyah dan panglimaki berhasil menebas memegang panji-panji perang pihak Muawiyah dan merebutnya.
Pada saat Muawiyah dan tentara terdesak, Amru bin Ash sebagai penasehat Muawiyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding meminta agar memerintahkan pasukannya mengangkat Mushaf Alquran di ujung tombak sebagai perdamaian dengan cara Tafkhim (arbitrase) sehingga Muawiyah terhindar dari kekalahan total.