REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi geopolitik dunia yang sedang carut-marut pascapandemi dan Perang Rusia-Ukraina juga diperburuk dengan menurunnya kurs Rupiah membuat harga beberapa komoditas dan bahan pokok meroket, salah satunya yang terdampak adalah harga bahan bakar minyak dunia. Tentu saja meningginya harga bahan bakar minyak dunia berimbas ke harga bahan bakar minyak di Indonesia.
Mari kita ambil contoh perbandingan pada harga jual bensin jenis Pertalite asli dengan harga jual bensin jenis Pertalite di Indonesia. Harga jual asli bensin jenis ini seharusnya mencapai harga Rp 14.450 per liter, namun di Indonesia, Pertalite dapat dibandrol pada harga Rp 7.650 per liter.
Lalu kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menanggung hampir setengah harga bensin Pertalite di Indonesia? Tentu saja subsidi Bahan Bakar Minyak alias BBM berperan menekan 47,1 persen dari harga penjualan asli bensin berjenis Pertalite ini yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN. Itu baru satu dari sekian jenis subsidi yang dibebankan kepada APBN, bisa dibayangkan betapa beratnya APBN Indonesia menanggung berbagai subsidi dari berbagai sektor demi menjaga kemashalatan masyarakat.
Sayangnya, beban APBN yang semakin lama semakin berat ini mulai mempengaruhi perekonomian di Indonesia. APBN Indonesia pada tahun 2022 mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat, dari Rp 152 triliun menjadi Rp 502 triliun dari subsidi dan kompensasi energi, termasuk BBM. Menanggung beban sebanyak itu, tak ayal lagi, APBN nampaknya akan ‘jebol’ dan tentu saja bisa berpotensi mempengaruhi perekonomian nasional.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah dengan berat hati mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM demi menyelamatkan APBN. Tentu saja, keputusan yang tidak populis ini menuai pro dan kontra diberbagai kalangan yang kemudian memicu munculnya berbagai demonstrasi dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan serikat pekerja hingga mahasiswa. Gejolak sosial ini tak lagi dapat dihindarkan, mengingat BBM merupakan hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Pemerintah tak kunjung diam melihat gejolak sosial yang muncul akibat kebijakan ini, sehingga timbullah suatu solusi dari pemerintah yang diyakini bisa meredam kemarahan masyarakat akibat kebijakan kenaikan harga BBM yang dinilai merugikan masyarakat kelas bawah, yakni mengganti subsidi BBM dengan metode lain, yakni Bantuan Langsung Tunai atau BLT untuk menanggulangi kenaikan BBM.
Kebijakan BLT
Pengalihan dari subsidi BBM menjadi BLT merupakan upaya pemerintah untuk membantu masyarakat kelas bawah untuk dapat mengakses BBM secara tepat sasaran. Presiden Jokowi dalam jumpa pers di Istana Merdeka pada Sabtu 3 September lalu juga menjelaskan jika BLT BBM ini akan disalurkan kepada 20,65 juta keluarga yang masuk kedalam golongan tidak mampu dan juga kepada pekerja sebesar Rp 12,4 triliun dan Rp 9,6 triliun. BLT BBM ini akan diberikan dalam kurun waktu empat bulan dan akan diberikan mulai September ini.
Solusi ini disambut positif oleh berbagai kalangan, termasuk dari berbagai pengamat ekonomi dan politik. Salah satunya dari pengamat kebijakan ekonomi politik Laboratorium Indonesia 45 (LAB 45), Reyhan Noor. “Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, BLT memang lebih efektif karena sasaran penerima lebih jelas. Pemerintah memiliki basis data untuk memberikan BLT, meskipun tingkat akurasi data masih perlu menjadi perhatian,” jelasnya pada 12 September lalu.
Pemberian BLT ini sudah mulai disalurkan sejak pertengahan September silam kepada masyarakat yang membutuhkan. Sudah banyak masyarakat yang telah menerima BLT ini, termasuk Mang Adin, salah satu pengemudi ojek online di Kawasan Jakarta.
Hidup dengan pendapatan rendah dan tidak tetap membuat Mang Adin termasuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, sehingga adanya kebijakan BLT ini disambut gembira olehnya. Menurutnya, dengan adanya program BLT, dirinya dapat tetap bisa mengakses BBM tanpa harus merogoh kantong lebih dalam lagi.
“Lumayan ada BLT (BBM) ini, saya jadi nggak begitu berat (mengeluarkan biaya) untuk beli bensin buat ngojek,” ujarnya.
Ia mengaku sudah mendapatkan BLT BBM sejumlah Rp 600 ribu yang diberikan oleh RT ditempat kediamannya. Selain Mang Adin, ada juga Misan, warga Tanggerang yang juga sudah mendapatkan BLT BBM dari pengurus RT setempat. Namun, berbeda dengan Mang Adin yang mendapatkan BLT BBM secara utuh, Misan justru mendapatkan potongan dari BLT yang ia terima. Ia mengaku warga di tempat kediamannya, Kampung Bojongbulak, minimal Rp 30 ribu per orang.
“Ditempat saya, mah, kena potongan sukarela, paling dikit tiga puluh ribu seorang. Katanya untuk administrasi kedepannya. Kalau nggak (memberikan potongan dari BLT BBM), kedepannya nanti susah kalau mau urus apa-apa,” papar Misan.
Kendati demikian, Misan tetap merasakan jika adanya BLT cukup membantu dirinya untuk tetap bisa mengakses BBM untuk melanjutkan kehidupannya. Menurutnya, adanya pungli yang terjadi di kediamannya hanyalah ulah oknum belaka yang tentunya harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
“Sebenernya, mah, kebantu banget dengan adanya BLT ini. Cuma, untuk adanya orang (oknum) yang suka motong BLT emang harus diseriusin (tindaklanjuti). BLT ini, kan, untuk orang yang nggak mampu, masak dipotong lagi?” ujarnya.
Baik Mang Adin maupun Misan juga sama-sama berharap, agar BLT kali ini bisa benar-benar tepat menyentuh dan membantu masyarakat yang masih berada dibawah garis kemiskinan untuk bisa tetap mengakses BBM dengan harga yang terjangkau, mengingat BBM merupakan salah satu komoditi yang sangat dibutuhkan untuk menjalani roda kehidupan sehari-hari.
Upaya pemerintah pada program BLT ini memang menjadi salah satu solusi untuk mengutamakan kemaslahatan masyarakat tanpa membebani APBN terlalu banyak yang bisa mengakibatkan goncangnya perekonomian Indonesia, namun lagi-lagi, dalam teknis penyaluran BLT ini nampaknya harus diawasi dengan serius oleh pemerintah, agar masyarakat yang membutuhkan tetap bisa bernafas lega karena kebutuhan bahan bakar minyak untuk kehidupannya sehari hari tetap bisa ia dapatkan tanpa harus merogoh kocek lebih dalam.