REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memulai langkah untuk menggunakan inisiatif pasar karbon sebagai alternatif pembiayaan sektor riil. Hal ini mengingat Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin pasar karbon di dunia.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan berdasarkan angka tersebut, Indonesia bisa menghasilkan sebanyak 565 miliar dolar AS hanya dari perdagangan karbon.
“Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin di kawasan ini (pasar karbon). Adanya hutan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon,” ujarnya, Kamis (29/9/2022).
Mahendra menyebut potensi penyerapan karbon belum termasuk potensi yang bisa diserap mangrove dan penyerapan karbon lainnya yang lebih besar. Di samping itu, penetapan harga karbon sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena pemerintah dapat memberikan insentif untuk mendorong pengurangan emisi dan disinsentif bagi yang memproduksi emisi lebih dari batas yang ditoleransi.
“Pada April 2022 sebanyak 68 instrumen penetapan harga karbon, termasuk pajak karbon dan skema perdagangan yang efisien telah dikembangkan secara global,” katanya.
Begitu juga dengan Indonesia yang telah menetapkan keputusan presiden tentang nilai ekonomi karbon yang mengatur pelaksanaan penetapan harga karbon melalui beberapa mekanisme, salah satunya perdagangan karbon ke pasar karbon.
“Kami akan mendapatkan kerangka peraturan yang jelas otoritas dan pengoperasian pasar karbon pada jasa keuangan dan peraturan lain yang sudah ada, baik perdagangan domestik maupun luar negeri. Kita juga harus mengarahkan infrastruktur sekunder primer dan pasar untuk mendukung beroperasinya pasar karbon,” ucapnya.
Lebih lanjut Mahendra menegaskan OJK siap mendukung inisiatif yang telah ditetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) dengan menyiapkan mekanisme pengawasan yang sesuai.
“Meskipun tekanan dari perlambatan ekonomi global dan inflasi yang tinggi, sektor keuangan kita tetap tangguh didukung oleh intermediasi yang tumbuh, likuiditas yang cukup dan permodalan yang kuat. Pasar modal kami juga tetap solid dengan peningkatan penggalangan dana dan jumlah investor yang telah melampaui sembilan juta,” tuturnya.
Menurutnya penetapan harga karbon dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi dan disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi. Maka itu, Mahendra menyebut dibutuhkan kerangka regulasi yang jelas mengatur mengenai kewenangan dan pengoperasian bursa karbon, baik perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
"Kita juga harus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit, tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder, dan pasar sehingga dapat mendukung beroperasinya bursa karbon, serta mekanisme pengawasan yang sesuai pasar karbon agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC)," katanya.
OJK berharap regulasi terkait payung hukum mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon, khususnya melalui bursa karbon, dapat segera diterbitkan sehingga dapat mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.
Dia pun meminta seluruh stakeholders terkait saling bergandengan tangan untuk mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Adapun inisiatif perdagangan karbon akan dilakukan secara langsung atau melalui pasar karbon, tetap sejalan dengan semangat transisi menuju keberlanjutan.
“Komitmen kita terhadap ekonomi yang lebih hijau harus sesuai dengan kepentingan bangsa kita untuk memastikan bahwa semuanya dapat merasakan manfaat dari kebijakan ini. Saya ingin mengapresiasi dan mendorong sinergi antara pemerintah, OJK, dan para pelaku usaha, karena kerja sama kita sangat penting untuk mensukseskan inisiatif ini,” ucapnya.