REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – PBB dan Amerika Serikat (AS) mengutuk serangan bom di Mogadishu, Somalia, yang menewaskan sedikitnya 100 orang pada Sabtu (29/10/2022) pekan lalu. Insiden itu turut menyebabkan ratusan warga lainnya terluka.
“(Sekjen PBB Antonio Guterres) sangat mengutuk serangan keji ini dan menegaskan kembali bahwa PBB berdiri dalam solidaritas dengan Somalia melawan ekstremisme kekerasan,” kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, Ahad (30/10/2022), dilaporkan laman Al Arabiya.
Guterres pun menyampaikan belasungkawa kepada keluarga para korban, termasuk pemerintah dan rakyat Somalia. Pada hari yang sama, Gedung Putih juga mengeluarkan kecaman atas aksi serangan bom di Somalia. Washington secara khusus menyoroti bagaimana serangan itu diatur untuk menargetkan Kementerian Pendidikan Somalia dan responden pertama.
"AS tetap berkomitmen untuk mendukung Pemerintah Federal Somalia dalam perjuangannya untuk mencegah tindakan teroris tidak berperasaan seperti itu," kata penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam sebuah pernyataan.
Pada Sabtu pekan lalu, dua mobil dipenuhi bom meledak di dekat persimpangan Zobe yang sibuk di Mogadishu. Insiden itu diikuti dengan aksi penembakan yang menargetkan Kementerian Pendidikan Somalia. Sedikitnya 100 orang dilaporkan tewas dalam kejadian tersebut.
Kelompok Al-Shabaab yang terafiliasi dengan Al-Qaeda mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Mereka pun menyatakan bahwa para anggotanya memang sengaja menargetkan Kementerian Pendidikan Somalia.
Selain menghadapi ancaman terorisme, Somalia pun sedang dibekap krisis pangan. Pada September lalu, Kepala Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan Martin Griffiths mengatakan Somalia berada di ambang bencana kelaparan. Hal itu disebabkan kekeringan parah yang melanda negara tersebut.
“Kelaparan sudah di ambang pintu dan kami menerima peringatan terakhir,” kata Griffiths dalam konferensi pers di Mogadishu, 5 September lalu. Dia mengungkapkan, kelaparan parah kemungkinan terjadi di dua wilayah, yakni di Somalia tengah dan selatan.
Griffiths, yang memulai kunjungannya ke Somalia pada 1 September lalu mengaku sangat terkejut dan terenyuh melihat kondisi di Somalia. “Waktu terus berjalan, ia akan segera habis,” ucapnya, memperingatkan tentang perlunya untuk segera menyalurkan bantuan kemanusiaan ke negara tersebut.
Menurut PBB, terdapat 7,8 juta orang yang menghadapi krisis kelaparan di Somalia atau sekitar setengah dari populasi negara tersebut. Sekitar 1 juta warga di sana telah melakukan perjalanan dan meninggalkan rumah mereka untuk mencari makanan serta air.