REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Geografi lebih dari sekadar kartografi atau seni membuat peta. Geografi dan kartografi pada awalnya lebih kepada seni daripada sains.
Meskipun para astronom melalui studi mereka tentang alam semesta mampu berteori tentang konsep geografis umum seperti bentuk bumi, geografi awal sebagian besar merupakan produk imajinasi, yakni kumpulan dongeng menakjubkan dan kisah luar biasa dari tempat-tempat yang jauh.
Namun, pada abad ke-12, seorang ahli geografi dan kartografer Amazigh bernama Abu Abdullah Mohammed bin Mohammed 'Abdullah bin Idris al-Hammudi al-Hassani memulai revolusi yang akhirnya mengarah pada geografi modern.
Al Idrisi lahir pada tahun 1100 di Ceuta, Maroko, dari keluarga bangsawan Amazigh, Hammudites. Salah satu garis leluhurnya turun langsung dari Nabi Muhammad, ia berhak menyandang gelar ash-Sharif (Yang Mulia).
Selama masa mudanya ia belajar di Cordoba, yang saat itu menjadi ibu kota Spanyol Islam. Seorang penyair, mahasiswa kedokteran dan pengembara yang rajin, dia adalah seorang jenius tingkat pertama.
Selama perjalanannya ia menelusuri kembali jalan penaklukkan Islam. Prajurit penunggang kuda yang telah menyapu Mediterania menyebarkan keyakinan baru, telah bersumpah bahwa hanya gelombang laut di al-Maghreb (Barat) yang akan menghentikan kuda mereka.
Jiwa petualang Al-Idrisi sama dengan mereka. Dia berlayar ke barat ke Madeira dan Kepulauan Canary, hanya berhenti di Samudera Atlantik yang luas.