REPUBLIKA.CO.ID, Genderang politik 2024 telah ditabuh, mesin politik partai politik terus bekerja dalam menentukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung. Tampaknya, untuk nama-nama yang muncul sebagai capres sudah mulai mengerucut, bisa jadi tiga nama bahkan dua nama. Sehingga membicarakan siapa-siapa saja untuk kemudian menjadi capres sangat menarik untuk dibuka ke ruang publik. Alhasil para pemilih dapat menghitung posisi tawar dan kemampuan cawapres yang nantinya disandingkan dengan capres.
Berangkat dari pengalaman Pemilu sebelumnya, sosok atau daya tarik dari cawapres sangat menentukan kemenangan pasangan capres dan cawapres dalam mencapai jabatan presiden dan wakil presiden. Sejauh ini, terkait cawapres mulai mencuat ke ruang publik di antaranya adalah Erick Thohir (ET), Ridwan Kamil (RK), Puan Maharani, Cak Imin, Andika Perkasa dan Khofifah Indar Parawansa. Semua nama-nama yang disebutkan ini tentunya putra putri bangsa terbaik, sehingga nama mereka dapat muncul dalam pembicaraan publik sebagai ancang-ancang dalam menentukan cawapres di Pilpres 2024 yang terus mendekat.
Secara politik tentu semua nama tersebut mesti dihitung kemampuannya, sehingga melihat sosok cawapres tidak sekadar melihat dengan cara pandang yang sempit dan dangkal. Paradigma seperti ini menjadi penting karena susana demokrasi di Indonesia sungguh memungkinkan akan mengarah pada konstelasi politik yang padat modal. Artinya setiap yang berjuang secara politik tidak dapat melaju dengan modal yang sedikit, apakah modal tersebut dilihat dari sisi modal kemampuan, dukungan hingga soal operasional politiknya.
Dalam konteks ini penulis masih percaya perjuangan politik tidak boleh lepas dari panggung adu gagasan, adu program, adu prestasi dan adu strategi kolektif masing-masing pendukung capres dan cawapres. Semua ini bertujuan untuk Indonesia menuju cita-citanya. Sehingga pada posisi ini penulis berusaha untuk berbagi penalaran terhadap publik soal bagaimana potensi Erick Thohir sebagai cawapres.
Pertanyaan yang kemudian harus dijawab adalah mengapa harus Erick Thohir? Alasan awalnya adalah karena mantan presiden Inter Milan itu secara tidak langsung telah membuka paradigma baru bagi publik dalam berpolitik. Pada satu sisi Erick Thohir telah sukses memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan berbagai indikator yang rasional.
Berbagai prestasi yang ditorehkan Erick Thohir dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo telah banyak memberikan bukti Erick Thohir selalu siap dan tepat melaksanakan perintah dari presiden. Kemampuan Erick Thohir yang cepat dalam menerjemahkan keinginan presiden inilah yang membuat penulis tertarik untuk menghitung Erick Thohir sebagai cawapres.
Untuk menjadi cawapres tentunya harus ada sosok yang memiliki kemampuan mengeksekusi secara cepat dan tegas. Posisi cawapres tidak dapat dilihat dari sisi elektoralnya saja, atau merentang intrik politik identitas di belakangnya. Seorang cawapres mesti dihitung secara menyeluruh terkait apa apa saja yang dimiliki atau yang melekat pada dirinya. Sebut saja Erick Thohir. Seorang menteri BUMN yang memiliki potensi yang memungkinkan ia tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun secera finansial, sehingga potensi politik pemburu rente tidak mungkin bersarang di sekeliling Erick Thohir.
Dari sisi lainnya, Erick Thohir memiliki kemampuan manajerial yang kuat dan tangguh. Hal ini terbukti melalui kemampuannya dalam merampingkan birokrasi di BUMN, serta Erick Thohir dengan sikap tegasnya berani mengambil langkah hukum untuk menyelamatkan BUMN atas nama kepentingan negara dan bangsa. Semua yang dilakukan Erick Thohir ini tidaklah mudah. Buktinya, tidak semua menteri BUMN mampu melakukan seperti apa yang dilakukan Erick Thohir.
Pembaca tidak perlu heran mengapa Erick Thohir dapat melompat begitu jauh mencapai prestasi dan perannya dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Hal ini terjadi atas kemampuan Erick Thohir dalam memimpin dan memilih tim kerja yang memang mampu bekerja sesuai dengan tujuan yang telah digariskan. Sikap Erick Thohir yang siap dan tegas melaksanakan program-program pemerintah yang berpihak kepada rakyat telah dibuktikannya saat ini.
Lebih segarnya lagi adalah Erick Thohir memiliki cakupan atau sisi yang berpeluang untuk menarik perhatian generasi milenial. Tentu dari sisi melirik pemilih muda atau pemilih berbasis gender sangat menguntungkan siapa saja capres yang berpasangan dengan Erick Thohir.
Dari sisi prospek perkembangan ekonomi nasional dan teknologi digital juga Erick Thohir dipandang mampu untuk menjawab janji politik presiden yang didampinginya. Sebab untuk mengubah Indonesia dari daerah berkembang sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan wakil presiden dalam memperkuat kinerja presiden.
Pada tahapan ini, tidak berlebihan rasanya mengatakan berdasarkan uraian di atas, sepanjang deretan nama-nama cawapres yang berkembang hari ini, nama cawapres yang ideal adalah Erick Thohir dengan segala potensi yang melekat padanya. Sebab melihat sosok capres mesti dihitung kekuatannya dengan cermat. Jika tidak dihitung dengan kuat dan rinci, dapat dipastikan pasangan capres/cawapres dapat dipastikan tumbang dalam Pilpres 2024 mendatang.
Secara perhitungan politik pula sudah menjadi tren bagi kalangan elite di negeri ini bahwa mereka pasti tidak ingin mendukun pasangan capres/cawapres yang hitung-hitungan cenderung kalah. Karena persoalan pemenangan dalam politik di Pilpres 2024 nanti tidak bisa ditempuh dengan hanya bermain prasangka atau sekadar percaya pada prediksi survey semata. Karena itu, melihat posisi Erick Thohir secara jernih dan terbuka di balik semua potensinya adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kemenangan di Pilpres 2024.