REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak satu dari lima orang berhasil mengingat pengalaman unik yang mereka rasakan ketika berada di ambang koma dan kematian. Pengalaman unik yang disebut sebagai lucid dying ini berbeda dari halusinasi atau delusi.
Studi ini melibatkan 25 rumah sakit di Amerika Serikat dan Inggris dan 567 orang pasien. Para pasien yang terlibat dalam studi ini sempat mengalami henti jantung pada periode Mei 2017 hingga Maret 2020.
Saat henti jantung, para pasien mendapatkan bantuan cardiopulmonary resuscitation (CPR) dengan cepat. Saat mendapatkan bantuan CPR inilah pasien mengalami sebuah pengalaman unik yang disebut lucid dying atau pengalaman kematian yang terasa nyata. Sebanyak satu dari lima pasien dalam studi bisa mengingat pengalaman ini.
Tim peneliti mengungkapkan bahwa fenomena lucid dying bukan sesuatu ilusi yang muncul akibat kerusakan atau kematian otak. Dengan kata lain, lucid dying berbeda bila dibandingkan dengan halusinasi, delusi, mimpi, atau kesadaran yang dipicu CPR.
"Temuan kami memberikan bukti bahwa ketika berada di antara kematian dan koma, orang-orang mengalami sebuah pengalaman batin yang unik, termasuk kesadaran tanpa penderitaan," jelas ketua tim peneliti dan Associate Professor dari NYU Grossman School of Medicine Dr. Sam Parnia, seperti dilansir US News, Selasa (8/11/2022).
Para pasien menggambarkan lucid dying seperti sebuah momen di mana mereka terpisah dari tubuh. Para pasien mengatakan mereka bisa melihat situasi yang terjadi tanpa merasakan sakit atau penderitaan. Saat mengalami lucid dying, para pasien juga melalui sebuah evaluasi kehidupan yang penuh arti.
Saat para pasien mengalami henti jantung dan menerima bantuan CPR, para peneliti juga memantau aktivitas otak yang tersembunyi saat peristiwa tersebut terjadi. Para peneliti mendapati bahwa ketika pasien berada di ambang kematian, terjadi lonjakan aktivitas otak hingga satu jam setelah CPR. Lonjakan aktivitas otak ini mencakup gelombang gamma, delta, theta, alpha, dan beta.
Beberapa gelombang otak ini cukup umum muncul di saat seseorang dalam kondisi sadar dan sedang melakukan fungsi mental yang lebih tinggi. Beberapa contoh dari aktivitas tersebut adalah berpikir, menghadirkan ingatan, dan persepsi kesadaran.
"Pengalaman (lucid dying) dan perubahan gelombang otak ini mungkin menjadi tanda awal dari pengalaman nyaris mengalami kematian, dan kami menangkapnya untuk pertama kali dalam sebuah studi berskala besar," lanjut Dr Parnia.
Temuan dalam studi ini mengindikasikan bahwa kesadaran diri manusia tak berhenti di momen kematian mereka. Fenomena ini kemungkinan sama seperti fungsi tubuh biologis lainnya.
Lebih lanjut, tim peneliti mengatakan banyak dari sistem pengereman alami otak yang menjadi bebas ketika manusia berada di dekat kematian. Hal ini memungkinkan manusia untuk mengakses kesadaran mereka lebih jauh, hingga ke ingatan masa kecil.
"Temuan ini menggelitik pertanyaan mengenai kesadaran manusia, meski di saat kematian," ujar Dr Parnia.
Temuan dalam studi ini telah dipresentasikan dalam pertemuan American Heart Association, pada Ahad. Temuan ini sepatutnya masih dianggap sebagai temuan pendahuluan sebelum dipublikasikan dalam jurnal yang diulas oleh sejawat.