REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR pada Kamis (17/11/2022) menggelar rapat paripurna ke-10 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Dalam forum tersebut, Ketua DPR Puan Maharani membacakan bahwa pihaknya telah menerima surat presiden (surpres) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Puan menyampaikan, bahwa surpres tersebut telah diterima oleh pimpinan DPR pada 16 Desember 2021. Namun, surpres tersebut baru dibacakan dalam rapat paripurna pada November 2022.
"Perlu kami beritahukan bahwa pimpinan DPR sudah menerima Surat dari Presiden Nomor R58 tanggal 16 Desember (2021) tentang Rancangan UU Perubahan kedua UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE," ujar Puan dalam rapat paripurna, Kamis.
"Kedua R45 tentang RUU persetujuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah India mengenai kerja sama pertahanan. Ketiga R46, R52, R54, R55 R57, R59," sambungnya.
Seusai rapat tersebut, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus menjelaskan bahwa revisi UU ITE merupakan tugas dari Komisi I DPR. Namun dalam setahun terakhir, Komisi I tengah berkutat dan fokus dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi yang telah disahkan sebagai undang-undang.
"Itu (revisi UU ITE) kan dilimpahkan ke Komisi I, kita kemarin kan fokus pada UU PDP, ya kan lama PDP ini. Nah sekarang ini lebih penting, ini undang-undang (ITE) sudah ada, tinggal di revisi. Kalau PDP baru sama sekali, sehingga kita fokus (ke RUU PDP)," ujar Lodewijk di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen.
Adapun revisi UU ITE, jelas Lodewijk, merupakan undang-undang yang sudah jadi, tetapi dalam perkembangannya menimbulkan polemik. Sehingga, didorong oleh banyak pihak untuk direvisi dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
"Mungkin nanti kita lihat lah perkembangannya. Kalau terkait dengan permasalahan hukum kita juga akan berkomunikasi dengan Komisi III, kan ini semuanya masalah hukum juga," ujar Lodewijk yang juga merupakan anggota Komisi I.
Sebelumnya, Paguyuban Korban UU ITE menggelar audiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam forum tersebut, mereka mendesak agar DPR merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad mengatakan bahwa pihaknya menjadi tempat mengadu bagi pihak-pihak yang menjadi korban dari payung hukum yang disalahkan gunakan oleh sejumlah pihak. Harapannya dengan adanya revisi, UU ITE tak lagi memakan korban dari seseorang yang hanya melontarkan pendapat atau kritiknya.
"Kami tergabung dalam satu koalisi yaitu namanya koalisi serius. Kenapa serius? karena kami melihat bahwa revisi Undang-Undang ITE harus serius dilakukan dan harus serius benar-benar dijalankan," ujar Arsyad di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Ia menjelaskan, ada satu pasal dalam UU ITE yang sering disalahgunakan untuk mempidanakan seseorang, yakni Pasal 27. Bunyi pasal tersebut, "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000."
"Selama UU ITE itu ada, apa pun yang dilakukan pemerintah, pasti ada oknum-oknum yang bisa melakukan pembungkaman dan membunuh demokrasi yang sudah kita bangun," ujar Arsyad.