REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR mengkritisi hadirnya pasal penghinaan, baik untuk pemerintah ataupun lembaga negara dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menjelaskan, Pasal 240 mengatur tentang pasal penghinaan terhadap pemerintah, yang di dalamnya termasuk presiden.
Sedangkan Pasal 347 RKUHP menjelaskan pasal penghinaan terhadap lembaga negara. Dalam penjelasannya, lembaga negara mencakup MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Komisi III DPR Johan Budi Sapto Pribowo menjelaskan bahwa penghinaan adalah sesuatu yang bersifat subjektif. Sebab, ia melihat bahwa antara penghinaan dan kritik dapat ditafsirkan berbeda oleh yang melontarkan ataupun bagi subjeknya.
"Ada yang merasa kita tidak menghina pemerintah, tapi mengkritik, kenapa mengkritik dipidanakan. Ini kan selalu terjadi seperti itu, apalagi yang mengkritik tidak masuk dalam pendukung penguasa," ujar Johan dalam rapat kerja dengan Wamenkumham, Kamis (24/11/2022).
Jika memang pasal penghinaan pemerintah dan lembaga negara tak bisa dihapuskan, minimal diberikan penjelasan yang detail mengenai pengertian "penghinaan". Sebab, pihak yang menafsirkan penghinaan tersebut adalah subjek yang menerima hinaan dan aparat penegak hukum.
"Jadi kata-kata penghinaan harus diperjelas, dipertegas. Jadi definisi menghina itu apa, ada tidak bedanya dengan mengkritik, ada bedanya tidak dengan memfitnah," ujar Johan.
"Kata-kata itu harus ditambah dalam penjelasan supaya tidak multitafsir, siapapun yang berkuasa nanti dia tidak akan menafsirkan sesuai apa yang menjadi kemauan pemerintah," sambung politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Sementara itu, anggota Komisi III Taufik Basari tetap berharap pasal penghinaan dalam RKUHP dihapuskan. Karena, ada potensi pasal tersebut akan disalahgunakan dan dapat mengancam demokrasi di Indonesia.
Jika tidak dihapus, ia mengusulkan agar delik penghinaan diubah menjadi delik fitnah atau tuduhan. Mengingat makna "penghinaan" cakupannya sangat luas dan multitafsir antara satu orang dengan orang lainnya.
"Kita batasi menjadi delik fitnah atau menuduh sesuatu hal diketahuinya yang tidak benar, agar semakin sempit lagi. Menurut saya ini tidak masalah, toh maksudnya sudah tersampaikan di sini, tapi kita harus benar-benar harus memberikan pembatasan," ujar Taufik.
"Kita ingin semua ukurannya objektif, terukur, kalau deliknya penghinaan menjadi fitnah maka kita bisa memberikan ukuran-ukuran yang lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan," sambungnya.