Pangkur merupakan alat tradisional pencacah batang sagu.
Alat apa yang digunakan untuk mengolah sagu? Di Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) disebut pangkur. Namanya dengan nama tembang Jawa atau pupuh Sunda. Di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Jayapura, pangkur disebut lemek. Ini berupa batang kayu berbentuk siku-siku yang diujungnya diberi mata pangkur yang di Malaumkarta disebut nokot. Mata pangkur, kata Agustinus Magablo, warga Kampung Malaumkarta, terbuat dari besi baja. “Dulu terbuat dari bambu,” ujar dia.
Pohon sagu yang disebut ewa ditebang, batangnya lalu dibelah, dipindahkan ke rumah sagu yang disebut simbolon. Meski disebut rumah, sebenarnya hanyalah tempat teduh yang dibuat dari daun sagu untuk atap yang disangga tiang-tiang dari batang kayu yang ditancapkan di tanah di tengah hutan. Gunanya untuk melindungi batang sagu yang sudah dibelah dari panas dan hujan. Karena untuk mengolah batang sagu ini bisa berhari-hari, tergantung kebutuhan, jika terkena hujan dan panas bisa menjadi tempat ulat sagu.
Lelaki Papua akan duduk di batang sagu yang sudah dibelah, lalu mengayun-ayunkan pangkur ke batang satu agar tercacah. Cacahan batang sagu kemudian dipindahkan ke pelepah pohon sagu untuk disiram dengan air lalu diremas-remas agar keluar sari patinya. Perempuan papua yang bertugas mengambil sari pati dari cacahan batang sagu itu. Hasilnya disebut kamolfe. Kamolfe juga berarti yang menguatkan, yang menghidupi.
Priyantono Oemar