REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Investor asing mengatakan unjuk rasa memprotes kebijakan Covid-19 di seluruh China mungkin menimbulkan gelombang ketidakpastian politik. Tapi protes itu juga dapat mempercepat perekonomian terbesar kedua di dunia itu dibuka kembali.
Saham China pada Senin (28/11/2022) kemarin mengalami hari terburuknya pada bulan ini dan nilai mata uang juga mulai goyah. Sementara saham global tertekan dan harga minyak merosot 3 persen lebih usai demonstran menunjukkan ketidakpatuhan sipil yang jarang terlihat sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade yang lalu.
"Unjuk rasa mengkhawatirkan dalam jangka pendek," kata kepala strategis pengelolaan aset 500 miliar dolar AS di Principal Global Investors Seema Shah, Selasa (29/11/2022).
Ia menambahkan peristiwa terbaru mendukung pandangan angin perubahan. "Sementara kami harus berhati-hati, terdapat perubahan penting yang terjadi pada pembukaan Covid-19," katanya.
Pasar China memiliki tahun yang menantang, harus menghindari resiko politik dari invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari lalu, khawatir dengan pertumbuhan ekonomi yang terhambat pembatasan Covid-19 dan krisis sektor properti.
Portofolio obligasi China membukukan arus keluar setiap bulan sejak Rusia menginvasi Ukraina. Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan totalnya 105,1 miliar dolar AS selama sembilan bulan terakhir. Pada bulan Oktober saja portofolio saham China kehilangan 7,6 miliar dolar AS, paling banyak sejak Maret.
Pada Senin kemarin yuan melemah terhadap dolar AS menjadi 7.2468 dan dolar Australia yang sensitif pada resiko, turun 1,61 persen menjadi 0,6649 dolar.
Saham Apple Inc turun 2,7 persen karena kerusuhan buruh di pabrik terbesar iPhone di dunia di China memicu kekhawatiran akan pukulan yang lebih dalam pada produksi teknologi kelas atas.
Unjuk rasa memprotes kebijakan Covid-19 yang ketat dan pembatasan kebebasan individu menyebar luas ke puluhan kota di dunia. Sebagai bentuk solidaritas pada demonstrasi yang jarang terjadi di China akhir pekan lalu.
"Rekor kasus di sejumlah kota menguji kebijakan Covid-19 dan kerusuhan menunjukan besarnya tantangan yang dihadapi Presiden Xi Jinping dan komitmennya pada nol Covid," kata pengamat pasar di OANDA, Craig Erlam.
"Kombinasi ini menciptakan ketidakpastian besar, baik dalam hal bagaimana pengunjuk rasa ditangani dan apa arti seluruh pengalaman ini bagi kebijakan dan ekonomi di masa depan," tambahnya.
Pengamat China mengatakan unjuk rasa merupakan ketidakpatuhan warga terkuat selama karir politik Xi.