REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menepati janjinya untuk menambah tarif pada barang-barang yang diekspor China ke AS sebagai respons terhadap dugaan praktik perdagangan yang tidak adil dan peran China dalam krisis fentanyl di AS. Pada Sabtu (1/2/2025), Trump mengumumkan bahwa tarif tambahan sebesar 10 persen akan dikenakan pada ekspor China ke AS, selain tarif yang sudah ada sebelumnya.
Pada Ahad(2/2/2025), China langsung membalas dengan menyatakan penentangannya terhadap kebijakan tersebut dan berjanji akan mengambil "tindakan balasan yang sesuai" untuk melindungi kepentingannya. Namun, meskipun tarif baru ini diberlakukan, para analis mengatakan bahwa dampaknya terhadap ekonomi China kemungkinan tidak akan besar.
“China sudah memperhitungkan tarif yang lebih tinggi pada tahun ini. Langkah ini kemungkinan tidak akan mengubah harapan pasar terhadap prospek makro China,” kata Presiden Pinpoint Asset Management Zhiwei Zhang seperti dikutip Channel News Asia, Ahad (2/2/2025).
"Saya rasa China tidak perlu mengambil tindakan, seperti depresiasi nilai tukar, untuk mengimbangi (dampaknya),” tambahnya.
Menurut Bloomberg Economics, tarif 10 persen dapat mengurangi 40 persen ekspor barang-barang China ke AS, yang setara dengan 0,9 persen dari PDB China. Meskipun dampaknya terhadap ekonomi China relatif kecil, tarif ini akan memberikan tekanan tambahan pada pembuat kebijakan China yang sedang menghadapi pertumbuhan yang melambat, krisis sektor properti, dan konsumsi domestik yang lesu.
Perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini sangat besar, dengan total lebih dari 530 miliar dolar AS pada 2024. Penjualan barang-barang China ke AS mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS, hanya kalah dari Meksiko. Ketidakseimbangan perdagangan yang besar, sekitar 270,4 miliar dolar AS, telah menjadi sumber ketegangan antara kedua negara.
Trump memulai perang perdagangan dengan China sejak 2016 dengan meluncurkan tarif besar terhadap barang-barang China yang kemudian dibalas dengan tarif pada produk AS. Kedua negara mencapai kesepakatan perdagangan "fase satu," namun Beijing gagal memenuhi komitmen impor barang-barang AS, yang memicu ketegangan lebih lanjut.
Meskipun Joe Biden tidak membatalkan tarif Trump, ia lebih terfokus pada isu-isu strategis seperti pembatasan ekspor chip canggih ke China dan tarif tambahan pada barang-barang seperti kendaraan listrik dan semikonduktor. Tarif baru ini menunjukkan keseriusan Trump dalam menghadapi China, yang dihubungkan dengan nasib aplikasi TikTok.
Sementara itu, China berjanji untuk mengambil tindakan balasan dan mempertimbangkan membawa kasus tarif ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun, ancaman lebih besar datang dari kemungkinan dampak terhadap kerjasama bilateral di bidang pengendalian narkoba.