REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dilema impor beras di tengah klaim surplus produksi beras nasional dinilai menjadi kemunduran kebijakan pangan Indonesia. Pasalnya, pemerintah dinilai tidak memiliki perencanaan dan antisipasi yang tepat untuk memitigasi berbagai risiko pangan yang terjadi.
"Jadi, kalau kita sekarang kekurangan pangan (beras) dan cari solusinya sekarang, sungguh suatu kemunduran. Mestinya itu diantisipasi sebelumnya, apalagi penduduk kita tidak sedikit," kata Pakar Pertanian IPB University, Yusman Syaukat dalam webinar Pataka, Selasa (29/11/2022).
Ia menuturkan, masalah dilema impor beras sudah terjadi berulang kali. Perbedaan klaim antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian tidak dapat diatasi dari tahun ke tahun.
"Tahun ini kejadian, tahun depan kejadian lagi, dan seterusnya. Tidak ada solusi dari masalah. Ini klasik. Mestinya jangan sampai berulang kali pada periode berikutnya," ujarnya.
Yusman mengatakan, cadangan beras nasional hingga akhir Juni 2022 berdasarkan survei BPS mencapai 9,17 juta ton dengan 6 juta ton di antaranya berbentuk gabah. Di satu sisi, Indonesia memiliki tanah yang subur bahkan dapat melakukan penanaman hingga tiga kali dalam setahun.
Hanya saja, situasi nasional yang dinilai aman belum tentu terlepas dari persoalan pangan di tingkat yang lebih kecil, dari provinsi hingga kabupatan/kota. Namun opsi impor yang dilakukan juga bukan perkara mudah. Sebab membutuhkan waktu dan mencari negara terdekat yang memiliki stok sisa beras yang dapat diekspor.
"Kebijakan pangan jangka pangan harus dibangun setelah adanya Badan Pangan Nasional. Sekarang seolah-olah tidak bermasalah, tapi bermasalah. Selalu begitu saja," ujar dia.
Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) berharap agar pemerintah segera merealisasikan impor beras melalui Perum Bulog. Situasi perberasan nasional dinilai dalam situasi yang mengkhawatirkan lantaran pasokan menipis.
Ketua Koperasi Pedagang Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC) Jakarta, Zulkifli Rasyid, menjelaskan, rata-rata harga beras medium di pasar induk terus melonjak. Dari semula kisaran Rp 8.300 per kg menjadi Rp 9.200 per kg dan mendekati HET beras medium di level konsumens sebesar Rp 9.450 per kg.
Adapun kebutuhan beras keluar masuk untuk PIBC per hari sekitar 2.500-3.000 ton. Saat ini, menurut Zulkifli, pasokan yang masuk ke PIBC sudah mengalami penurunan.
"Kenapa? Karena beras dari daerah sudah tidak ada. Boleh dikatakan satu-satunya yang bisa mensuplai ke pasar induk adalah Bulog. Tapi (cadangan) di Bulog juga kurang cukup," katanya dalam sebuah webinar yang digelar Pataka, Selasa (29/11/2022).
Menurut Zulkifli, titik kritis beras akan terjadi pada Desember 2022 hingga Februari 2023. Menurut dia, tanpa langkah konkret impor akan sangat berbahaya dan berpotensi terjadi kekosongan beras pada periode itu karena musim panen belum tiba.
"Pemerintah harus sesegera mungkin impor. Saya katakan ini sudah sangat (berbahaya). Kami yang penting ada yang mau dijual, mahal jual mahal, murah jual murah. Kalau tidak ada yang mau kami jual, bagaimana?," ujar dia.