REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepemimpinan Elon Musk dalam mengambil alih Twitter membawa banyak perubahan. Kini, seluruh operasi platform untuk memerangi informasi yang salah tentang pandemi COVID-19 dihentikan. Musk sendiri telah banyak dikritik karena menyebarkan kebohongan tentang Covid-19 di Twitter.
Keputusan itu tidak dipublikasikan secara luas. Pengguna hanya melihat catatan singkat yang ditambahkan ke halaman Twitter tentang misinformasi Covid-19, “Efektif 23 November 2022, Twitter tidak lagi memberlakukan kebijakan informasi menyesatkan Covid-19.”
Kebijakan tersebut diambil setelah amnesti umum Twitter. Amnesti umum Twitter memulihkan 62.000 akun Twitter yang dihapus di bawah manajemen baru. Baik itu anti-vaxxer, penyangkal Covid-19, dan orang lain yang kontennya bisa dihapus berdasarkan aturan lama akan diizinkan kembali ke platform.
Dilansir Slash Gear, Rabu (30/11/2022), Musk telah menganut filosofi vox populi, vox dei dalam beberapa hari terakhir yang diterjemahkan menjadi “Suara rakyat adalah suara Tuhan."
Singkatnya, dia percaya bahwa dia memoderasi demokrasi populer. Dia menentukan masalah kontroversial seperti amnesti dan pemulihan hak istimewa Twitter mantan Presiden Donald Trump melalui polling terbuka.
Masalahnya, popularitas tidak membuat pernyataan menjadi benar. Musk mengklaim tidak menganjurkan penghapusan standar moderasi Twitter sepenuhnya. Sebaliknya, Musk menggambarkan strategi baru Twitter sebagai kebebasan berbicara, bukan kebebasan menjangkau. Maksudnya adalah tweet dengan konten kebencian akan di-deboost dan didemonetisasi, hanya dapat dilihat oleh pengguna yang sengaja mencarinya.