REPUBLIKA.CO.ID,TEHERAN - Protes massal masih membayangi Iran sejak kematian Mahsa Amini (22 tahun) di tangan polisi moralitas negara Republik Islam itu. Protes kemudian merambah pada kemarahan warga soal kemiskinan, disfungsi ekonomi, korupsi, kurangnya kebebasan pada perempuan dan pemuda hingga kegagalan pemerintah dalam mengurus sumber daya airnya.
Rezim Iran dinilai salah mengelola sumber daya air dalam beberapa dekade sejak revolusi 1979. Dalam dorongan swasembada pangan untuk melindungi negara dari sanksi Barat, pihak berwenang Iran telah memperjuangkan pergeseran ke praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
Pemerintah mengawasi perluasan tanaman intensif air seperti gula bit. Pembangunan bendungan yang direncanakan dengan buruk dan kemudian penggalian sumur untuk mengumpulkan air untuk irigasi.
Pihak berwenang juga mengalihkan sungai untuk menyediakan air bagi industri berat seperti manufaktur baja. Langkah-langkah ini telah membebani siklus air alami, mengeringkan akuifer, sungai, dan lahan basah. Salah urus, dikombinasikan dengan perubahan iklim sehingga menyebabkan kekeringan terburuk dalam setengah abad pada 2021.
Krisis air memang bukan fokus demonstrasi di Iran beberapa bulan belakangan. Namun kekurangan air menjadi akumulasi kemarahan yang kini ditumbalkan. Pada protes dan di media sosial, pengunjuk rasa menyebut danau garam Urmia yang mengering dan sungai Zayandeh Rud, yang muncul sebagai simbol ketidakmampuan rezim mengelola lingkungannya terutama untuk air. Masalah lingkungan lainnya, seperti polusi udara, disebutkan sebagai motivasi pemberontakan dalam lagu demo yang viral, Baraye (“Because of”).
"Tantangan lingkungan bisa menjadi faktor pemersatu bagi orang Iran," kata seorang ilmuwan Iran, yang pernah menjabat sebagai wakil kepala departemen lingkungan pemerintah Iran di bawah mantan presiden Hassan Rouhani, Kaveh Madani dikutip Time, Ahad (11/12/2022).
Menurutnya, semua orang tidak suka ketika lahan basah yang luas mengering. Itulah, kata dia, yang menyatukan semua orang. \"Inilah mengapa para aktivis lingkungan menjadi sasaran begitu banyak oleh badan keamanan Iran," katanya.
Musim kemarau Juni-Agustus mendatang membawa risiko kekurangan air baru di daerah pedesaan, yang selama dua tahun terakhir telah memicu protes di kalangan petani. Pada akhir November, kelompok peretas Black Reward menerbitkan sebuah dokumen yang menyatakan keprihatinan pemerintah bahwa kekurangan air dapat memicu demonstrasi di beberapa provinsi.
Perubahan iklim membuat Iran semakin panas dan kering. Sebuah studi 2019 tentang prospek iklim Iran untuk 2025-2049 oleh Nature mencatat "gambaran suram" dari kekeringan dan banjir yang semakin parah. Daerah terkering di Iran berpotensi menjadi tidak dapat dihuni.
Juru kampanye iklim mengatakan upaya pemerintah untuk mencegah situasi itu, termasuk program restorasi untuk Urmia. Madani menilai, untuk benar-benar memastikan keamanan air Iran akan membutuhkan reformasi radikal untuk mendiversifikasi ekonomi dari pertanian dan industri intensif air lainnya. Dan ini, menurutnya tidak mungkin dilakukan oleh sistem politik saat ini Madani. "Tidak ada presiden dalam struktur saat ini yang dapat mengatasi masalah lingkungan," ungkapnya.
"Semua itu akan semakin mempersulit pemerintah untuk mencegah kerusuhan di Iran di masa depan. Air mempengaruhi ketahanan sistem. Mereka mendekati titik kritisnya," pungkasnya.