REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) kembali menegaskan bahwa waktu Subuh dimulai ketika matahari berada di ketinggian -20 derajat.
Kriteria -20 derajat untuk waktu Subuh ini didasarkan pada kajian fikih dan ilmu falak yang kuat dengan uji pengamatan di seluruh Indonesia.
Keputusan ini ditetapkan dalam kegiatan Rakernas Falakiyah yang digelar di STMIK/AMIK Bandung, Jawa Barat pada 9-11 Desember 2022. Rakernas ini mengangkat tema “Merawat jagat membangun peradaban, mengamati semesta untuk mengukuhkan Nusantara.”
Seperti diketahui, waktu Subuh dimulai pada saat terbit fajar shadiq. Fajar ini adalah fajar yang cahayanya menyebar di ufuk. Ketika fajar ini terbit, maka waktu Subuh tiba dan diharamkan makan dan minum ketika hendak berpuasa.
Hal ini sejalan dengan sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Hakim dari Imam Ibnu Abbas, “Fajar itu ada dua macam, yaitu fajar yang diharamkan memakan makanan dan diperbolehkan melakukan sholat dan fajar yang diharamkan melakukan sholat (yakni sholat Subuh) dan diperbolehkan makan makanan.”
"Hadits tersebut menunjukkan memang ada dua fajar. Dijelaskan oleh para ulama bahwa dua fajar yang dimaksud adalah fajar kadzib dan fajar shadiq," ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, KH Ahmad Yazid Fattah, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (12/12/2022).
Fajar shadiq adalah cahaya yang sudah cukup terang di ufuk timur dan cukup terang sehingga sudah menerangi puncak-puncak pegunungan atau perbukitan. Definisi ini dikemukakan Imam Ibnu Abbas.
Sementara Imam Ghazali mendefinisikan fajar shadiq sebagai pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang menyebar secara horizontal (paralel) terhadap ufuk dan mudah dikenal mata.
Para ahli falak NU sendiri cenderung kepada pandangan dari Imam al-Zamakhsyari dan Imam ar-Razi yang menyatakan, bahwa fajar shadiq adalah cahaya selain fajar kadzib yang sudah muncul di ufuk timur meskipun masih samar dan putih.
Mayoritas ulama memang berpandangan bahwa Subuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah kapan fajar shadiq ini terbit?
Dalam kajian falak, fajar kadzib merupakan cahaya berintensitas lemah membentuk struktur mirip segitias yang khas dan menjulang sepanjang garis ekliptika.
Sedangkan fajar shadiq merupakan cahaya tipis berkedudukan horizontal terhadap ufuk dan bertambah terang seiring waktu.
Hadirnya fajar shadiq tidak berurutan setelah fajar kadzib, melainkan berbarengan dengan melemahnya fajar kadzib. Cahaya fajar shadiq yang semakin terang membuat cahaya fajar kadzib yang mulai melemah tidak terlihat.
Para peneliti dari NU mengamati kemunculan fajar dengan berbagai metode, seperti regresi linear, analisis gradien, analisis nilai modus, analisis visual, dan analisis solver. Dengan berbagai pengamatan itu disimpulkan bahwa fajar shadiq terbit pada tinggi matahari -20 derajat.
Peneliti fajar dan pengurus Lembaga Falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang, Muhammad Bastoni mengatakan, pengamatan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek, mulai penentuan waktu pengamatan, pengaruh cahaya bulan, faktor cuaca dan geografis, arah pengamatan, hingga instrumennya yang meliputi setting, metode, dan sebagainya.
“Hasil berbeda karena perbedaan instrumen pengamatan, setting, metode, dan lain-lain,” kata Bastoni dalam Seminar Sosialisasi Falakiyah "Menuju Satu Abad Nahdlatul Ulama: Kebijakan Kriteria Awal Waktu Subuh dan Kriteria Awal Bulan Hijriyyah" pada Ahad (11/12/2022).
Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat
Selain menetapkan awal Subuh, Rakernas LF PBNU juga membahas isu-isu lainnya yabg berkaitan dengan falakiyah, seperti kriteria rukyatul hilal. Kemudian, LF PBNU juga melakukan pengukuhan program kerja dan penguatan organisasi.
Pengukuhan program kerja dilakukan untuk masa khidmah LF PBNU 2022-2027. Sementara, penguatan organisasi dilakukan guna penyesuaian perubahan status Falakiyah dari lajnah menjadi lembaga sebagaimana diamanahkan dalam Muktamar ke-33 tahun 2015 di Jombang.
Rakernas ini dihadiri pengurus Lembaga Falakiyah PBNU, perwakilan 11 Lembaga Falakiyah PWNU se-Indonesia, dan perwakilan 52 Lembaga Falakiyah PCNU. Hadir juga para ahli hisab dan para anggota tim akademik dalam lingkup Lembaga Falakiyah PBNU.