Rabu 14 Dec 2022 18:01 WIB

Hukuman untuk Muslim Jika Menolak Pindah Kristen Saat Jatuhnya Granada Spanyol  

Perang Salib membuka mata dunia Islam tentang kekejaman musuh

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Istanda Alhambra di Granada. Perang Salib membuka mata dunia Islam tentang kekejaman musuh
Foto: lexicorient.com
Istanda Alhambra di Granada. Perang Salib membuka mata dunia Islam tentang kekejaman musuh

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kisah jatuhnya Granada Spanyol, menyisakan lara dalam sejarah kelam peradaban Islam. 

Perang Salib menandai gelombang baru migrasi di dunia Islam. Pada 1095, Kaisar Bizantium Alexios I, meminta bantuan Paus Urbanus II di Roma untuk melawan tentara Seljuk di Semenanjung Anatolia.

Baca Juga

Di hadapan rakyat Roma dan para bangsawan, Paus menjawab dengan seruan Perang Salib. Kaum Kristen berangkat untuk merebut kembali Yerussalem. 

Satu per satu wilayah kekuasaan Islam berhasil ditaklukkan. Stabilitas politik dan religius umat Islam guncang. Kaum Muslim di wilayah-wilayah yang dikuasai Pasukan Salib mencari perlindungan ke daerah lain. 

Sejak itu, kehidupan umat Islam tak pernah lagi sama. Eropa terus menjadi bayang-bayang di negara-negara Islam, khususnya Timur Tengah. 

Cerita menjadi berbeda ketika kaum Kristen mulai merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai umat Islam. Pengujung abad ke-13, satu per satu pemimpin Muslim di Andalusia mulai tunduk kepada kekuasaan Kristen. 

Perkawinan antara Ferdinand dari Aragon dengan Isabelle dari Castille pada 1469 menjadi lonceng kematian bagi kekuasaan Islam di Spanyol. 

Perkawinan itu menyatukan dua kerajaan Kristen yang sama-sama menghendaki pembebasan Spanyol dari kaum Muslim. Pada 1492, Sultan Muhammad Abu Abdullah dipaksa menyerahkan Granada dan meninggalkan benteng terakhirnya. 

Philips K Hitti dalam History of the Arabs mengungkapkan, kaum Muslim Spanyol, yang kemudian disebut Moriscos, mengalami konversi paksa di bawah kekuasaan Raja Ferdinand. 

Sebagian yang menolak konversi dibunuh atau diusir dari kota. Pada awal 1501, dikeluarkan sebuah dekrit kerajaan yang menginstruksikan semua Muslim di Castille dan Leon mesti memeluk Kristen, atau kalau tidak, mereka mesti meninggalkan Spanyol. Pada 1526, kaum Muslim Aragon menghadapi pilihan serupa.

Perintah pengusiran terakhir ditandatangani  Philips III pada 1609, yang mengakibatkan deportasi en masse secara paksa atas hampir semua Muslim di dataran Spanyol.

Baca juga: Hidayah adalah Misteri, Dunia Clubbing Pintu Masuk Mualaf Ameena Bersyahadat

Sekitar setengah juta Muslim mengalami pengusiran dan mendarat di pantai-pantai Afrika, atau berlayar menuju daratan Islam yang lebih jauh.

"Antara kejatuhan Granada sampai dekade pertama abad ke-17, diperkirakan sekitar tiga juta Muslim dibuang atau dihukum mati," catat Philips K Hitti.

Hal ini berlanjut pada masa modern. Pasca-Perang Dunia I, Zionis Israel berbondong-bondong melakukan migrasi ke Palestina. Inggris mendukung dan memfasilitasi migrasi tersebut. 

Rakyat Muslim Palestina kemudian terdesak. Tahun 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaan yang mengakibatkan pecahnya Perang Arab-Israel I. Perang ini berakhir dengan kekalahan di pihak Arab. 

PBB mendata, jumlah pengungsi Palestina dalam perang itu mencapai 711 ribu jiwa. Mereka tidak dapat kembali ke kampung halaman yang sudah diklaim sebagai wilayah Israel.   

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement