REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rights issue PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) segera digelar pada akhir tahun ini. Emiten spesialis pembiayaan perumahan ini akan menerbitkan 3,44 miliar saham baru seri B yang setara dengan 24,54 persen dari dari modal ditempatkan dan disetor penuh.
Dengan harga pelaksanaan Rp 1.200, BTN akan meraup dana segar Rp 4,13 triliun pasca aksi korporasi ini. Prospektus juga menyebutkan PT CIMB Niaga Sekuritas (CIMBS) akan bertindak sebagai pembeli siaga.
Analis menilai meskipun pembeli siaga hanya berkomitmen menyerap sebagian dari saham sisa, namun aksi korporasi ini tetap menarik untuk diikuti. Sebabnya adalah pemerintah Indonesia sebagai pemegang saham pengendali akan melaksanakan seluruh haknya.
Pemerintah Indonesia akan melaksanakan 2,06 miliar Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) melalui penambahan penyertaan modal negara (PMN) sesuai PP Nomor 48 Tahun 2022. Pelaksanaan HMETD ini setara dengan dengan setoran PMN sebesar Rp 2,48 triliun. Jadi porsi publik sebenarnya hanya 1,38 miliar saham atau setara dengan Rp 1,65 triliun.
“Komitmen penuh pemerintah selaku pemegang saham pengendali dan standby buyer membuat rights issue ini semakin menarik untuk diikuti, apalagi harga sahamnya undervalued,” kata Direktur Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilanus Nico Demus, Selasa (20/12).
Maximilianus menjelaskan selama harga saham induk berada di atas harga pelaksanaan, maka investor akan termotivasi untuk exercise rightsnya. Artinya, investor membeli saham baru di harga yang lebih rendah dari harga saham induknya yang sudah lebih dulu terdiskon.
“Selama ada selisih antara harga saham dan harga rights, investor akan mengapresiasi. Ini semacam kompensasi yang didapat investor,” katanya.
Saat ini harga saham BBTN tergolong undervalue karena price to book value (PBV) berada di kisaran 0,68x. Saham BBTN jauh lebih murah dibandingkan saham bank besar lainnya yang berada di atas 2x PBV. Contohnya BBCA di kisaran 5x, BBRI 2,5x, BMRI 2,18x, dan BBNI di 1,36x PBV.
Dengan harga pelaksanaan rights issue Rp 1.200 maka ada selisih Rp 190 atau 13,67 persen lebih murah, dibandingkan dengan harga saham BBTN pada penutupan Kamis (15/12/2022) pada level Rp 1.390. Jadi, untuk investor jangka panjang, ini adalah kesempatan terbaik menyerok saham BBTN di harga bawah.
“Apalagi BBTN terus mencatatkan kinerja positif. Laba bersihnya sudah mencapai Rp2,79 triliun per November 2022. Inilah daya tarik rights issue BBTN. Di satu sisi kinerja mereka terus bertumbuh, di sisi lain harga sahamnya undervalued,” kata Maximilianus yang menetapkan target harga BBTN Rp2.000.
Sebagai informasi dalam setahun terakhir saham BBTN tidak pernah menyentuh level di bawah Rp1.300. Saham emiten spesialis pembiayaan perumahan ini diperdagangkan pada kisaran 1.345 - 1.930 dalam setahun terakhir.
Bila dibandingkan dengan nilai buku (book value) BTN yang mencapai Rp 2.039 maka ada potongan Rp 839 atau 41,15 persen lebih rendah untuk harga pelaksanaan rights issue. Nilai buku adalah harga riil saham yang dihitung dari hasil pencatatan ekuitas atau modal.
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip meyakini bahwa waktu pelaksanaan rights issue BBTN cukup tepat. Hal ini didorong oleh sejumlah data yang menunjukan dana asing kembali masuk ke Indonesia.
“Jadi, ini adalah peluang bagi right issue BTN untuk menangkap dana-dana asing yang masuk tersebut. Dan kalau dana asing yang masuk tersebut dapat diserap lebih lama melalui instrumen pasar modal, ini akan jadi amunisi untuk memperkuat devisa nasional dan sekaligus dapat menjadi sinyal untuk mengarah pada penguatan nilai tukar Rupiah,” ujarnya.
Sunarsip pun meyakini bahwa sektor properti yang menjadi bisnis utama BTN, masih akan tumbuh positif di 2023. Hal ini ditopang oleh berbagai indikator makro ekonomi dan indeks bisnis serta manufaktur memperlihatkan kinerjanya yang cukup solid.
“Jadi, tahun 2023 bisa menjadi momentum bagi BTN pasca rights issue. Right issue akan meningkatkan permodalan BTN sekaligus memperkuat sumber pendanaan murahnya. Dengan kekuatan ini maka BTN memiliki peluang yang semakin besar untuk mengembangkan bisnis perumahan dan propertinya secara lebih agresif sekaligus memenuhi target pemerintah,” ujarnya.