Senin 26 Dec 2022 07:54 WIB

Mengenang Tragedi Kolosal Aceh Tahun 2004

Tragedi Tsunami Aceh yang menelan korban tak terperikan.

Rep: Muhammad Subarkah/ Red: Partner
.
.

Tragedi Tsunami pada 26 Dessember 2004.
Tragedi Tsunami pada 26 Dessember 2004.

Oleh: Fahmi Mada, Jurnalis Senior Asal Aceh

Hari ini, kalender masehi tertera tanggal 26 Desember. Hari dimana duka begitu mendalam, kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang hidup. Aceh luluh lantak dalam sebuah tragedi kolosal.

Peristiwa Gempa dan Tsunami sesudah Hari Natal 2004 sangat miris dan dramatis dalam jejak kehidupan modern. Sulit dicerna dengan akal sehat tapi itulah kekuatan Ilahiah.

Kerusakan yang terlihat begitu masif, peradaban kita terkoyak, kehidupan seperti kembali ke zaman purba. Aceh powerless, lumpuh total dan berada dititik nadir terendah.

Dalam hitungan jam setelah peristiwa mencekam tersebut, umat manusia di seluruh penjuru bumi menebar simpati. Mereka mencari posisi Aceh dalam peta jagat bumi.

Jutaan manusia mendoakan dan mendonasi hartanya dengan mengirim bantuan untuk menyemangati sisa-sisa kehidupan di Aceh. Apalagi negeri yang dijuluki Serambi Mekkah kala itu tengah konflik senjata. Perang antara gerilyawan GAM melawan pasukan TNI/Polri.

Siaran televisi, radio, suratkabar dan jaringan media sosial tak berhenti mewartakan kejadian Aceh kepada seisi jagat ini.


Saya sejak malam tadi mengenang tragedi tsunami di Aceh dengan doa dan airmata. Bukan tanpa sebab, seratus lebih nyawa kerabat dan keluarga menjadi syuhada pada peristiwa tersebut.

Kami tak bisa memakamkan jasad mereka secara mulia. Jenazah mereka hampir tak bisa dikenali lagi, bertumpuk dan berserakan dalam kuburan massal. Duka kami sangat pedih ketika itu.

Tak ada batu nisan yang melengkapi identitas sebagaimana lazim sebuah kuburan. Semua jasad dikubur massal untuk menghindari bencana lainnya. Bila dibandingkan, Dalam hal ini beruntunglah tentara Belanda yang tewas dalam Perang Aceh yang herois itu. Nama-nama mereka tertulis pada dinding di area pemakaman Kerkhoffd. Sedangkan warga aceh yang menjadi korban namanya tak ada yang terteras di nisan kuburnya.


Delapan belas tahun berlalu, kesedihan rakyat Aceh sudah pulih. Mereka hidup dengan rutinitasnya. Peristiwa yang begitu menyayat tersebut seperti sudah tak diingat-ingat lagi. Kini mereka tengah menikmati "lemak mabok" kehidupan.

Apalagi Aceh punya partai lokal, semua politisinya bercita-cita ingin mewujudkan "kemakmuran" Aceh seperti pada masa kecemasan Sultan Iskandar Muda.

Tapi Aceh hari ini tetap miskin. Aceh masih tetap juara satu dalam urusan kemiskinan di Pulau Sumatra. Saya pikir ini harus terus dirawat agar kebanggaan ini menjadi "warisan" bagi anak cucu kita kelak.

Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada seluruh warga dunia yang dulu datang ke Aceh untuk menyeka air mata kesedihan kami..

Aceh pasca bencana memang seperti "ibukota" baru dunia, seluruh etnis bangsa pernah berkumpul di sana. Tokoh politik dunia dan pesohor lainnya pernah berkunjung dan menikmati kuah beulangoeng di sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement