Kamis 29 Dec 2022 08:46 WIB

Perbaiki Ekosistem Pers, Wapres akan Tindak Lanjuti Rumusan Publisher Rights

Saat ini, platform global menguasi 70 persen surplus ekonomi digital.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ratna Puspita
Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mengadakan silaturahmi dengan Forum Pemred di Kediaman Wapres, Jakarta, Rabu (28/12).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mengadakan silaturahmi dengan Forum Pemred di Kediaman Wapres, Jakarta, Rabu (28/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjanjikan akan menindaklanjuti rumusan regulasi publisher rights atau hak penerbit yang saat ini dalam proses penyusunan. Kiai Ma'ruf menilai kehadiran regulasi itu menjadi salah satu upaya mendukung keseimbangan ekosistem pers di Indonesia akibat disrupsi perkembangan pesat platform global.

"Saya merasa ini (publisher rights) sesuatu yang harus diperjuangkan. Tidak saja hanya selamat dari sakaratul maut, tapi supaya bisa, istilah saya, mencapai hayatan thoyyiban, kehidupan yang baik. Yaitu membangun ekosistemnya," ujar Kiai Ma'ruf dalam acara silaturahmi dengan Para Pemimpin Redaksi Media Massa dan Asosiasi Organisasi Pers di Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro No. 2, Jakarta, pada Rabu malam (28/12/2022).

Baca Juga

Ma'ruf mengatakan, setelah mendengar berbagai permasalahan yang dihadapi media massa, dia menilai perlunya keseimbangan ekosistem pers. Dia menyoroti keberadaan platform global dan kemunculan media online yang mendominasi arus informasi publik.

Namun, keberadaan keduanya hingga saat ini belum diatur oleh pemerintah. Karenanya, perlunya pemerintah segera menindaklanjuti rumusan regulasi publisher rights.

Ia pun meminta informasi lebih lanjut mengenai negara lain yang telah menerapkan kebijakan tentang publisher rights ini.

"Saya minta benchmark dari suatu negara yang pernah mewujudkan ini (publisher rights). Sehingga kita bisa lihat modelnya. Kalau bisa kita lebih baik daripada itu," katanya.

Saat ini, rumusan Publisher Rights masih dalam tahap penyusunan setelah diserahkan para inisiator pada Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate pada April lalu dan diteruskan ke Sekretariat Negara. Namun, hingga kini pemerintah belum juga menetapkan rumusan tersebut dan meminta pihak inisiator untuk memperbaiki rumusan tersebut secara komprehensif.

Peneliti isu media yang juga merupakan Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Agus Sudibyo mengatakan, platform global-seperti Google, Facebook, Instagram-saat ini menguasi 70 persen surplus ekonomi digital. Menurutnya, situasi ini jika dibiarkan akan mengancam industri pers khususnya media mainstream.

Karena itu, Agus mendorong kehadiran negara mengatasi permasalahan tersebut. "Harus ada intervensi negara, negara hadir. Platform global menguasai 70 persen surplus ekonomi digital. Dalam rezim manapun berkuasa lebih 70 persen harus dikendalikan," ujarnya.

Kondisi ini menyebabkan banyak media yang tidak mengikuti kode etik jurnalisme demi mendapatkan rating pembaca. "Banyak media yang akhirnya melanggar etika. Celakanya, di antara media mainstream, sekarang di mata platform, yang melakukan proses kode etik, proses jurnalisme dengan baik, sama dengan media yang tidak melakukan dengan baik. Ini kadang akhirnya muncul media tidak jelas," kata Ketua Forum Pemred Arifin Asydhad.

Arifin juga menuturkan, terdapat ketidakadilan dalam proses pendapatan di platform media online. Mengingat pembagian iklan didasarkan pada capaian trafik, seperti jumlah pengunjung dan berapa lama pengunjung berada pada suatu platform. "Akhirnya media berlomba-lomba untuk membuat berita yang bisa diklik, mendapatkan view. Itu pasti berita akhirnya yang bombastis, berita yang remeh temeh, belum tentu ada manfaat besar buat negara," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement