REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal pandemi, virus penyebab Covid-19 telah bermutasi beberapa kali. Sejumlah varian telah menjadi penyebab jutaan infeksi. Dari jumlah tersebut, varian omicron, yang pertama kali terdeteksi di Inggris pada November 2021, menjadi yang paling dominan.
Kini, seorang ahli telah memperingatkan tentang subvarian omicron XBB.1.5 yang berpotensi menimbulkan lonjakan kasus. Profesor epidemiologi genetik di King’s College London sekaligus pendiri ZOE Health Study, Tim Spector, mengatakan bahwa XBB bisa menjadi varian baru yang harus diwaspadai pada tahun 2023, sebab karena kasus yang dipicu varian tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat dalam satu pekan di AS.
"XBB bisa menjadi varian baru yang harus diwaspadai pada tahun 2023," kata Prof Spector dalam cicitan di Twitter-nya, seperti dilansir laman Express, Rabu (4/1/2023).
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), lebih dari 40 persen kasus Covid-19 di AS saat ini disebabkan oleh varian XBB.1.5. Ini naik dari 18 persen kasus pekan sebelumnya. Lebih khusus lagi, di timur laut AS sekitar 75 persen kasus telah dilaporkan sebagai XBB.1.5.
Ilmuwan AS Eric Jeffrey Topol mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat pertumbuhan varian yang begitu cepat sejak omicron BA.1 setahun yang lalu.
"Wow XBB.1.5 lebih dari dua kali lipat di AS dalam satu pekan, sekarang 40 persen, mengalahkan semua varian pesaing. Total XBB minggu lalu = 18 persen kasus. East Coast sekarang 75 persen XBB.1.5," kata Topol dalam cicitannya di Twitter.
Kini, untuk pertama kalinya varian XBB.1.5 telah didaftarkan oleh Sanger Institute, sebuah pusat pengawasan Covid-19 di Inggris. Dilaporkan bahwa empat persen kasus Covid-19 dalam sepekan hingga 17 Desember disebabkan oleh XBB.1.5. Namun, itu belum terdaftar sebagai variant of concern Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA).