REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kompleks Masjid Al-Aqsa, yang juga dikenal sebagai al-Haram al-Sharif, terletak di dataran tinggi yang oleh orang Yahudi disebut Temple Mount. Ibadah Yahudi di halaman Masjid Al Aqsa telah dilarang selama berabad-abad, termasuk oleh suksesi pemerintah Israel, dan sangat kontroversial di kalangan Muslim dan Yahudi yang religius.
Bagi orang Yahudi yang religius, Temple Mount adalah situs tersuci dalam Yudaisme. Dilansir Middle East Eye, Kamis (5/1/2023), menurut studi kitab suci dan arkeologi, situs ini diyakini sebagai situs dua kuil yang pernah menjadi pusat kerajaan Yahudi yang ada pada zaman kuno.
Satu-satunya bagian yang tersisa dari Kuil Kedua adalah Tembok Barat, yang merupakan tempat tersuci untuk doa Yahudi di kota tersebut. Kuil Kedua dimulai oleh Herodes Agung dan dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 M sebagai pembalasan atas pemberontakan Yahudi.
Di atas bukit terdapat Masjid Al Aqsa yang luas, kompleks halaman, ruang sholat, dan tempat suci, termasuk Dome of the Rock beratap emas. Masjid ini adalah salah satu situs paling suci dalam Islam. Kekaisaran Ottoman merebut Yerusalem pada 1517 dan menguasai kota itu selama 400 tahun berikutnya, sebelum Inggris merebut kota itu selama Perang Dunia Pertama.
Para penguasa Ottoman bersusah payah mencegah bentrokan sektarian di kota tersebut, tidak hanya antara Yahudi dan Muslim, tetapi juga di antara berbagai sekte Kristen yang mengklaim otoritas atas tempat-tempat suci. Penguasa Ottoman mengeluarkan sejumlah dekrit yang mengatur bagaimana kontrol kota akan dibagi.
Pada 1757, Sultan Osman III mengeluarkan dekrit yang menetapkan apa yang kemudian dikenal sebagai "Status Quo". Selain upaya untuk mencegah pertikaian antar-komunal di antara orang-orang Kristen atas situs-situs seperti Gereja Makam Suci, Status Quo juga menegaskan kembali larangan non-Muslim memasuki Al-Aqsa dan hak bagi orang Yahudi menggunakan Tembok Barat untuk beribadah.