Ahad 08 Jan 2023 19:08 WIB

Bekerja di Perusahaan yang Jual Produk Halal dan Haram, Bagaimana Sikap Kita?

Perlu penyikapan cerdas terkait bekerja di perusahaan dengan produk halal dan haram

Rep: Zahrotul Oktaviani / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi menghitung uang. Perlu penyikapan cerdas terkait bekerja di perusahaan dengan produk halal dan haram
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi menghitung uang. Perlu penyikapan cerdas terkait bekerja di perusahaan dengan produk halal dan haram

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Agama Islam dengan jelas telah menetapkan syariat dalam setiap kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal mencari rezeki, yang mana gaji tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Salah satu yang dibahas adalah perihal seseorang yang bekerja di tempat-tempat yang menjual produk haram, seperti alkohol maupun makanan dengan bahan haram. Bagaimana pandangan Islam atas hal ini?

Baca Juga

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menyebut ada dua kategori bagi mereka yang bekerja di bidang tersebut. Kategori pertama adalah jika mereka yang mengetahui dengan jelas tempat kerjanya menjual produk haram, maka gaji yang diterima adalah haram.

"Ini perlu diklasifikasi. Jika dia mengetahui dengan jelas tempat bekerjanya memperjualbelikan babi atau minumas keras, khamr, maka hasil yang dikerjakan adalah haram," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, akhir pekan ini. 

Hal ini berkaitan dengan salah satu hadits terkait minyak babi. Zaman dulu, ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang pemanfaatan minyak babi, seperti meminyaki perahu dan bahan penerangan.

Menjawab hal ini, Rasulullah SAW melarang dan mengatakan haram. Artinya, orang yang memperjualbelikan babi maupun memanfaatkan turunannya, seperti minyak babi, hasilnya haram. 

"Setiap sesuatu yang dilarang untuk digunakan, maka membuatnya pun adalah haram," lanjut Kiai Huda. 

Lebih lanjut, dia menyebut terdapat hadist yang menyatakan Allah SWT melaknat khamr atau minuman beralkohol dan memabukkan, termasuk yang membuat dan menghidangkannya. 

Selanjutnya, jika orang yang bekerja ini tidak mengetahui dengan jelas bahwa tempat kerjanya memperjualbelikan produk-produk haram, maka nafkah yang diterima halal. 

Hal ini bisa terjadi jika dia tidak bersinggungan langsung atau tidak sepenuhnya memahami proses produksinya.  

Kiai Huda pun mencontohkan beberapa profesi yang tingkat titik kritisnya tinggi, seperti pekerja di hotel, restoran, atau maskapai penerbangan. 

Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni

Lokasi-lokasi ini disebut ada yang menjajakan minuman beralkohol bagi penggunanya. "Tidak semua layanan yang diberikan ini haram. Bisa jadi pekerja tidak mengetahui, atau tahu namun terpisah prosesnya antara yang halal dan haram. Ini lebih baik pindah kerja, karena bisa jadi penghasilannya syubhat, karena bercampur antara produk yang halal dan haram," katanya. 

Di sisi lain, dia pun menyebut bagi beberapa pekerjaan yang persentase hasil penjualan produk haramnya kecil, hal ini dinilai bisa dimaafkan atau ma'fu. 

Dengan catatan, pendapatan dari produk haram ini kecil dan tidak bisa dimasukkan dalam pendapatan perusahaan secara keseluruhan.     

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement