REPUBLIKA.CO.ID, “Harga BBM naik, harga kue susah naik. Harga BBM turun, harga kue tetap.”
Itulah kondisi yang tergambarkan dari para pedagang kue subuh sekarang ini. Pedagang yang identik dengan aneka ragam kue-kue tradisional membuka lapak tepat di halaman Pasar Senen, Jakarta Pusat. Mereka mulai menjajakan berbagai kue, roti, hingga lauk pauk dari sore hari pukul 17.00 WIB hingga puncak keramaiannya saat menjelang subuh, lalu tutup sekitar jam delapan pagi. Pasar ini mulai eksis tahun 1960-1970 –an. Masyarakat Jakarta biasa menyebutnya sebagai “Pasar Kue Subuh”.
Pasar itu dibuka setiap hari dengan tempat berjualan yang terbagi atas empat blok. Kue-kue yang dijual dengan harga relatif murah biasanya didapat dari titipan orang lain, para pemasok daerah lain seperti: Ciledug, Sukabumi dan Bogor, atau ada pula yang dibuat sendiri. Rata-rata para pembeli serta pelanggan kue subuh ialah orang-orang yang memesan maupun membeli langsung dalam jumlah banyak untuk dijual kembali atau dijadikan hidangan pada berbagai acara ulang tahun dan hajatan.
Kini, para pedagang mulai mengeluhkan keramaian suasana pasar yang tidak seperti dulu. Menurut seorang ibu yang telah berjualan di pasar ini selama 27 tahun, mengatakan bahwa jumlah pembeli dan pelanggan sekarang semakin berkurang. “Ya, makin sepi gara-gara kan sekarang pasar Senen banyak buka cabang. Tempat jualan kue subuh nggak lagi di sini aja,” ungkapnya.
Hal tersebut juga diakui Syahril, tinggal di Gunungsari, Jakarta Pusat yang telah berlangganan kue subuh sejak tahun 1984, “Perbedaan yang paling mencolok dari pasar Senen dulu sama sekarang itu jumlah pengunjungnya yang makin menurun. Biasanya dari blok satu sampai empat penuh dan sesak dengan pengunjung, tapi sekarang udah kelihatan lengang.
Yang saya tahu pasar kue subuh Senen udah buka cabang-cabang, salah satunya itu ada di Blok M.” Akan tetapi, lain halnya dengan Agan yang tinggal di Cempaka Putih, ia merasakan jumlah pembeli di sini masih tergolong ramai. “Tiap hari jualan, paling rame malam minggu. Menurut saya, orang-orang yang beli jumlahnya masih biasa aja sih. Mungkin karena saya juga masih baru dua tahun berjualan. Tapi omzet per hari yang di dapat lumayan kok,” tuturnya.
Pengaruh BBM
Faktor harga kue yang merangkak naik juga merupakan keluhan utama bahkan tekanan besar bagi para pedagang kue subuh. Hal ini turut dirasakan seorang bapak yang telah berdagang sejak tahun 1998. Menurut dia, kenaikan harga BBM lah menjadi penyebab utamanya. Salah satu pelanggan, Ina, 44 tahun, tinggal di Tanjung Priok, juga menyetujui bahwa harga BBM sangat mempengaruhi harga kue.
“Saya udah langganan disini kurang lebih 15 tahun. Beli kue buat dijual lagi di pasar Warakas, Tanjung Priok. Saya merasakan memang harga kue-kue disini tiap tahun naik. Pokoknya kalau harga BBM naik ya harga kue ikut naik. Pengaruhnya paling karena bahan baku kue juga naik,” ujarnya. Selain itu, Syahril melihat naiknya harga BBM tidak hanya berimbas pada harga bahan baku tetapi juga ongkos pengiriman sehingga harga kue meningkat sedikit demi sedikit.
Meskipun begitu, para pedagang mengaku tetap memilih untuk berjualan kue-kue ini di pasar kue subuh Senen dengan berbagai resiko apapun. Alasannya, mereka sudah terbiasa berjualan di sana sebab menganggap pasar Senen sebagai pusat penjualan kue subuh, serta mempunyai pelanggan-pelanggan tetap.
Sedangkan, para pembeli juga akan tetap setia untuk berlangganan kue di tempat tersebut karena harga di pasar Senen relatif lebih murah dan terjangkau sehingga kue-kue itu dapat dijual kembali daripada cabang-cabangnya yang mematok harga lebih mahal. Selain itu, akses ke pasar Senen dinilai mudah dan mereka pun percaya akan kualitas kue-kue yang dijual.
Para pedagang maupun pembeli berharap, “Semoga kondisi, fasilitas, dan tata kelola tempat penjualan bisa lebih baik dan rapi lagi sehingga tidak terlihat seperti kawasan kumuh.”
Oleh Melati Pertiwi Putri (Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia)