REPUBLIKA.CO.ID,Saya tak tahu arti kata romantis itu seperti apa? Jika selama ini orang-orang mengartikan kata romantis dengan sikap memuji pasangan, memberi hadiah, berpegangan tangan ketika di luar rumah. Wah, jika konteks romantis seperti itu? Suami saya jauh dari tindakan di atas. Namun, yang saya paham, keromantisan seorang suami adalah sikap pengertian, kepedulian, hingga pengorbanannya bagi keluarga kecil kami.
Dari awal menikah pun, saya sudah dibuat kagum sekaligus bangga padanya. Tak ada satu perak pun uang dari orang tuanya yang ia gunakan untuk menghelat pernikahan kami dan rumah mungil yang telah ia siapkan untuk kami. Dana-dana itu ia kumpulkan dari hasil kerja kerasnya selama belasan tahun ia bekerja.
Dulu, sebelum menikah, saya pernah mengajaknya makan di sebuah restoran yang cukup mahal untuk ukuran kami. Saya kerap mengejeknya. ”Makan ko di warteg mulu, mbo’ ya ganti sekali-kali kenapa, ngga bosen apa makan di warteg terus.”
Dan jawaban pamungkas yang selalu ia katakan, sampai-sampai saya ilfil mendengarnya adalah, “Sayang uangnya, lebih baik ditabung.” Ternyata memang benar yang ia katakan, untuk menghelat pernikahan kami dan rumah mungil itu butuh dana yang tidak sedikit.
Selang satu bulan setelah kami menikah, saya mengandung. Saat itu saya yang baru saja belajar menjadi seorang istri. Saat itu pula saya harus segera belajar menjadi seorang ibu. Selama mengandung, suami selalu mengontrol emosi negatif saya. Menurutnya, emosi negatif itu akan berpengaruh pada psikologis bayi kami. Ia pula kerap menasehati saya untuk hidup lebih sehat lagi, menghindari MSG, memperbanyak sayur, buah, dan air putih.
Ia juga merelakan tidak tidur selama 2 hari ketika menjelang, saat, dan setelah saya melahirkan putra kecil kami. Ia rela saya remas, cakar, marahi, sekaligus menjadi sandaran tidur ketika saya kontraksi palsu. Pun selama saya kontraksi, melahirkan, penjahitan vagina saya, hingga proses IMD. Ia juga mendukung saya memberikan ASI selama 2 tahun dan meracik sendiri makanan bagi putra kecil kami. Tak hanya itu, ia pula mengizinkan saya memberikan ASI sekaligus sebagai ibu sepersusuan kepada putra teman kami.
Selama tiga bulan sejak kelahiran putra kami, sebelum berangkat kerja dan di sela istirahat bekerja, ia kerap memandikan dan membersihkan kotoran putra kami. Saya takut jika saya yang mengendongnya, ia bisa terkilir. Ketika itu saya sempat mengalami baby blues. Saya memiliki rasa khawatir yang amat berlebihan. Yang jelas saat itu pula saya mengalami krisis PD yang amat sangat. Bahkan saya sempat terpikirkan untuk tidak menyelesaikan tugas akhir dari program pascasarjana yang saya tempuh. Berkat dorongan suami dan orang tua, akhirnya tesis tersebut terselesaikan juga.
Suami saya juga sering mengalami diare kalau ia sudah mulai kelelahan karena bekerja. Ia mengizinkan saya berhenti total dari kegiatan mengajar agar si kecil dapat menyusui selama 6 bulan pertamanya tanpa ada hambatan. Ia rela jika pagi hingga sore mengajar di sekolah. Dan malamnya mengajar di bimbingan belajar atau pun privat untuk menutupi penghasilan saya yang mulai berkurang. Walaupun demikian, ia tetap memantau perkembangan si kecil dan tak pernah jemu mendengarkan keluhan saya sebagai ibu baru.
Saking dekatnya bonding antara suami dengan putra kami, kata ‘Bapak’-lah yang pertama kali diucapkan pada usianya 8 bulan. Sempat iri juga sih, karena si kecil justru memanggil saya dengan nama kecil saya: Icha. Tanpa ada embel-embel sebutan ibu, bunda, ataupun mama. Baru ketika Februari lalu, tepatnya ketika ia berusia 1 tahun 4 bulan, ia baru memanggil saya dengan sebutan, Bu Icha.
Itulah, sepenggal cerita saya tentang keromantisan suami kepada kami, saya dan putra kecilnya. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa keromantisan seorang suami tak hanya diukur dengan sikap memuji pasangan, memberi hadiah, berpegangan tangan ketika di luar rumah. Akan tetapi, lebih dari itu, sikap pengertian, kepedulian, hingga pengorbanannya bagi keluarganyalah yang amat berarti.
Khaerunnisa – Peserta RTC Universitas Muhammadiyah