Sistem Proporsional Tertutup Dikhawatirkan Kuatkan Karakteristik Otoritarian Orde Baru
Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Tangkapan layar Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, dalam diskusi bertajuk Koalisi, Sistem Pemilu, dan Sistem Presidensial Multi Partai, secara daring, Selasa (17/1/2023). | Foto: Tangkapan Layar
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengaku khawatir judicial review terhadap UU Pemilu yang mengusulkan agar sistem pemilu menjadi proporsional tertutup menguatkan karakteristrik otoritarian orde baru. Menurutnya sistem proporsional tertutup menghadirkan kader jenggot yang mengakar ke atas dan tidak mewakili masyarakat pemilihnya.
"Saya khawatir petitumnya kan menghilangkan frasa terbuka menjadi proporsional yang dimaknai tertutup. Kalau ini dilakukan maka saya khawatir ini menguatkan karakteristrik otoritarian orde baru," kata Denny dalam diskusi bertajuk 'Koalisi, Sistem Pemilu, dan Sistem Presidensial Multi Partai', secara daring, Selasa (17/1/2023).
Sistem proporsional tertutup bagi Denny adalah pilihan strategi pemenangan pemilu 2024. Ia menilai partai yang mengusung sistem proporsional tertutup bukan untuk membangun sistem pemilu, melainkan lebih kepada hitung-hitungan matematis potensi kemenangan mendapatkan kursi lebih banyak apabila menggunakan sistem proporsional tertutup.
"Jadi ini kan bukan jangka panjang, bukan membangun sistem. Tetapi hanya jangka pendek dirasa ini lebih menguntungkan maka itulah yang kemudian didorong," ujarnya.
Denny menjelaskan model semacam itu tidak tepat. Apalagi sistem proporsional tertutup tidak bisa menguatkan relasi antara pemilih dengan anggota parlemen pilihannya.
"Jadi dia melemahkan, tidak bisa juga menguatkan pendidikan politik rakyat," ungkapnya.
Menurut Denny, sistem proporsional terbuka lebih menguatkan relasi antara pemilih dengan anggota parlemen pilihannya. Sebab dengan menerapkan proporsional tertutup maka pemilih tidak bisa mengatakan bahwa dirinya telah salah memilih anggota parlemen sebab yang dicoblos adalah partai.
"Dalam proporsional terbuka ada nama, bisa kampanye dan kemudian bisa dibangun relasi lebih emosional, lebih dekat, lebih erat dengan calon anggota legislatif," tuturnya.
Dengan demikian, menurutnya hal tersebut merupakan open legal policy. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak boleh menentukan sistem pemilu yang tidak ada dalam undang-undang dasar.
"Inilah diberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang, presiden dan DPR yang diberi amanat pembuatan undang-undang untuk memilih apa sebenarnya sistem pemilu kita. Tidak bisa MK kemudian mengambil peran legislasi presiden dan DPR," jelasnya.