REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Psikolog Klinis Anak yang juga merupakan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Efriyani Djuwita mengatakan, permainan Latto-Latto dapat menimbulkan emosi positif dan memacu diri untuk menguasainya. Ia mengatakan, tren di masyarakat mengenai permainan ini.
"Tren di masyarakat mengenai permainan ini, mampu menambah rasa penasaran dan ingin mencoba, sehingga pada akhirnya banyak kita jumpai anak-anak memainkan Latto-Latto di mana-mana," ujar Efriyani dalam keterangannya, Selasa (17/1/2023).
Lebih dari sekadar permainan, menurut Efriyani, Latto-Latto ini dapat menimbulkan emosi positif bagi seseorang terlebih pada anak-anak, seperti emosi senang, karena merasa berhasil dan bangga mampu melakukannya. Hal ini menjadi salah satu emosi positif yang mungkin dirasakan anak saat berhasil memainkan Latto-Latto.
"Permainan ini melibatkan keterampilan motorik dan fisik, maka anak dapat terlatih dalam aspek perkembangan tersebut. Dalam permainan ini, kontrol gerakan motorik tangan juga berperan sehingga gerakan Latto-Lattonya bisa berhasil," katanya.
Jika dilihat lebih lanjut, dari aspek sosial, kegiatan bermain ini sedang marak dimainkan oleh semua orang, maka bisa menjadi suatu media yang dapat membantu interaksi sosial anak, seperti dengan cara bermain bersama. Selain itu, sense kompetisi juga dapat tumbuh pada anak.
Menurut dia, meskipun Latto-Latto merupakan permainan sederhana, perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan usia anak. Untuk itu, diperlukan peran orang tua dalam mengedukasi dan mendampingi mereka saat bermain Latto-Latto. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah material mainan tersebut karena belum lama ini terdapat kasus anak yang harus dioperasi matanya akibat terkena pecahan Latto-Latto.
Karena itu, perlu menyeleksi dulu apakah alat permainan ini sesuai dan cocok untuk anaknya. Ketika orang tua sudah tahu mana permainan yang aman dan cocok untuk anaknya, orang tua bisa memberikan contoh bagaimana memainkannya terlebih dahulu jika anak memang mengalami kesulitan memainkannya.
"Dalam hal ini, orang tua bisa menjadi play leader dan kemudian secara perlahan membiarkan anak melakukan trial and error dan bermain dengan caranya. Orang tua juga bisa memberikan aturan kapan permainan ini bisa dimainkan dan dimana tempat yang aman dan cocok memainkannya," ujar Efriyani.
Efriyani menambahkan, langkah selanjutnya yang harus dilakukan orang tua adalah menjadi co-player, artinya orang tua bisa menjadi teman bermain anak. Selain itu, orang tua juga bisa memegang peran onlooker, yakni orang tua menjadi pengamat dan siap membantu jika anak memerlukan bantuan. Hal ini juga berarti, jika anak sudah terampil bermain Latto-Latto, orang tua tetap harus mengawasi.
Di sisi lain, Latto-Latto juga turut berpengaruh pada aturan beberapa sekolah di Indonesia, seperti Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bandung Barat yang melarang siswa sekolah dasar (SD) membawa mainan Latto-Latto ke sekolah. Menanggapi tersebut, Efriyani menyampaikan aturan tersebut dilakukan sekolah karena beberapa hal, misalnya mengganggu jalannya kegiatan sekolah, menimbulkan risiko kecelakaan, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, kata dia, sekolah bisa memberikan ruang atau waktu tertentu untuk bermain mainan ini sehingga pengawasan dari pihak sekolah juga bisa optimal. Misalnya, tidak setiap hari tetapi ada hari tertentu anak-anak diperbolehkan membawa dan bermain di waktu dan tempat tertentu.
"Dibuat kompetisi antarsiswa juga bisa. Saya rasa, itu bisa menyenangkan dan bermanfaat untuk anak-anak. Intinya adalah karena ini ruang lingkupnya di sekolah, tentunya permainan ini harus bisa diawasi untuk tidak menimbulkan kecelakaan dan tentunya tidak mengganggu aktivitas sekolah," kata Efriyani.