REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Wartawan foto Turki Orhan Karan mengungkap bagaimana pemimpin partai sayap kanan Denmark Stram Kurs, Rasmus Paludan, melakukan pembakaran Alquran di bawah perlindungan polisi Swedia.
Paludan tidak hanya membakar kitab suci Alquran di bawah perlindungan polisi, tetapi juga dilaporkan membuat pasukan keamanan Swedia melepaskan anggota tim Paludan untuk memulai tindakan provokatifnya.
Karan menuturkan, seorang pendamping Paludan, yang pernah dia lihat dalam demonstrasi sebelumnya, tiba-tiba mendekatinya dengan sikap agresif dan mulai memaki kemudian mengancam akan menyerangnya. Dalam keadaan ini, pelecehan yang dilakukan pendamping Paludan itu berubah menjadi serangan fisik.
"Polisi di tempat kejadian kemudian menahannya karena mereka telah menyaksikan kejadian tersebut. Polisi memberi tahu saya mereka telah memindahkannya dari daerah tersebut," kata Karan, seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (25/1/2023).
Tidak lama setelah itu, Paludan tiba di tempat kejadian. Tetapi dia menolak keluar dari kendaraannya kecuali rekannya dibebaskan oleh polisi. Normalnya, tahanan dibawa ke kendaraan polisi, lalu dilanjutkan dengan interogasi di kantor polisi.
"(Namun) polisi tunduk pada permintaan Paludan dan membawa orang itu kembali ke tempat demonstrasi. Artinya, membiarkan seseorang yang terlibat dalam tindak pidana dan tindakan kekerasan," kata Karan, seraya menambahkan orang yang ditahan itu ditugaskan untuk menyiarkan langsung aksi Paludan.
Karan mengatakan bakal mengajukan tuntutan hukum terhadap petugas yang dituding memungkinkan Paludan melakukan aksi pembakaran Alquran. Polisi telah meminta maaf kepadanya setelah membebaskan tahanan dan mengatakan Paludan yang diberi perlindungan hukum untuk demonstrasinya, tidak akan keluar dari kendaraannya.
Tertegun oleh reaksi polisi, Karan mengatakan orang lain yang ditahan akan dibawa ke kantor polisi dalam keadaan normal. Insiden itu menimbulkan kegemparan di dunia Muslim.
Turki telah merespons Swedia yang mengizinkan Paludan untuk membakar Alquran dan menyebut itu sebagai tindakan provokatif dan kejahatan rasial. Sebagai tanggapan terhadap Swedia, Turki membatalkan kunjungan Menteri Pertahanan Swedia Pal Jonson yang akan datang ke Turki.
Di sisi lain, Swedia, yang khawatir terjadinya invasi Rusia di masa mendatang, menawarkan untuk menjadi bagian dari aliansi militer transatlantik NATO. Namun, pencalonan mereka saat ini ditahan oleh Turki, yang menuntut negara Nordik tersebut untuk mulai bertindak melawan kegiatan kelompok teror, termasuk PKK dan Organisasi Teroris Fetullah.