REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Beijing pada Ahad (5/2/2023) mengecam keputusan Pentagon menembak jatuh balon udara yang diklaim China sebagai alat riset saat terbang di wilayah udara Amerika Utara, dengan menuduh sebagai balon mata-mata. Menurut China, aksi AS tersebut sangat berlebihan dan secara serius melanggar praktik internasional.
"China mengungkapkan ketidakpuasan dan protes yang kuat terhadap penggunaan kekuatan oleh AS untuk menyerang pesawat sipil tak berawak," kata Kementerian Luar Negeri Beijing dalam sebuah pernyataan. Pihaknya juga menambahkan, China berhak melakukan tanggapan lebih lanjut yang diperlukan atas aksi pesawat AS ke balon udara milik China tersebut.
Balon udara itu menghabiskan beberapa hari terbang di atas kawasan udara Amerika Utara, yang pada akhirnya meningkatkan ketegangan antara Washington dan Beijing. Kemudian balon tersebut dijatuhkan oleh tembakan rudal dari jet F-22 pada Sabtu, sebagaimana dilaporkan pejabat keamanan AS di Pentagon.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyebut, operasi itu sebagai "tindakan yang disengaja dan sah" yang dilakukan sebagai tanggapan atas "pelanggaran kedaulatan yang tidak dapat diterima" oleh China. Pejabat Amerika pertama kali mengatakan pada Kamis, mereka melacak objek yang diduga balon pengintai dari China yang muncul di langit AS.
Hal itu menyebabkan Menteri Luar Negeri Antony Blinken pada Jumat membatalkan perjalanannya ke Beijing. Padahal kunjungan itu dirancang untuk menurunkan eskalasi ketegangan antara AS dan China.
Setelah keraguan awal, Beijing akhirnya mengakui kepemilikan "balon" tersebut, tetapi mengatakan itu digunakan untuk penelitian cuaca yang telah diterbangkan. Kementerian Luar Negeri China, Ahad mengatakan "dengan jelas meminta agar AS menangani masalah ini dengan baik dengan cara yang tenang, profesional, dan terkendali".
Beijing mengatakan, jika AS bersikeras menggunakan kekuatan, jelas itu reaksi berlebihan dan secara serius melanggar praktik internasional. "China akan dengan tegas melindungi hak dan kepentingan yang sah dari perusahaan terkait dan berhak melakukan tanggapan lebih lanjut yang diperlukan," kata Kementerian Luar Negeri China dalam pernyataannya.