Senin 06 Feb 2023 23:26 WIB

Apakah Rasulullah SAW Pernah Bakukan Model Negara? Ini Jawaban Pakar Fikih Asal Afrika 

Rasulullah SAW menyerahkan format suatu negara ke rakyat masing-masing

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Peserta saat menghadiri acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I tersebut resmi dibuka dengan mengangkat tema membangun landasan fikih untuk perdamaian dan harmoni global.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Peserta saat menghadiri acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I tersebut resmi dibuka dengan mengangkat tema membangun landasan fikih untuk perdamaian dan harmoni global.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Ulama ahli fikih asal Afrika, Prof Koutoub Moustapha Kano, menegaskan bahwa bentuk negara-negara modern sudah sesuai dengan ajaran Islam. 

Menurut dia, hukum Islam bersifat dinamis dan bisa disesuaikan dengan konteks di wilayahnya masing-masing. 

Baca Juga

"Hukum fikih memiliki keluasan yang bisa disesuaikan dengan konteksnya masing-masing," ujar Prof Kano saat menyampaikan materi secara virtual dalam acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Senin (6/2/2023). 

Sekjen Council of Islamic Fiqh Afrika itu menjelaskan, bukan hanya soal negara modern yang mendapat legitimasi Islam, melainkan sifat dinamis Islam ini juga berlaku pada sistem ekonomi, sosial, dan sebagainya, asalkan sistem itu cocok dengan masyarakat setempat. 

"Bentuk negara Islam yang ideal ini semuanya bersifat ijtihad yang dinamis yang bisa berubah karena perbedaan adat, tradisi, dan sebagainya," ucap dia.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Kano juga menegaskan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menentukan sebuah bentuk negara, seperti negara kerajaan, kebangsaan atau yang lainnya. 

Namun, menurut dia, Rasulullah SAW membuat sebuah kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah. 

"Piagam Madinah ada aturan hubungan antar manusia yang telah memilih hidup bersama di suatu negara. Ini contoh yang dilakukan Rasulullah," kata dia. 

Dia juga menyinggung tentang sejarah Imam Syafi'i yang pernah membuat dua keputusan hukum, yaitu ketika di Baghdad dan Mesir. Keduanya sering disebut dengan istilah qaul qadim dan jadid. 

"Imam Syafi'i pernah memberikan jawaban yang berbeda karena perbedaan konteks ketika berada di Iraq dan Mesir," jelas Prof Kano. 

Baca juga: 4 Sosok Wanita yang Bisa Mengantarkan Seorang Mukmin ke Surga, Siapa Saja?  

Dia pun menjelaskan tentang lima maksud dibuatnya hukum syariah atau yang dikenal dengan istilah maqashidu syariah. 

Menurut dia, dibuatnya hukum Islam adalah untuk menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. 

"Yang penting hukum tersebut bisa menjaga jiwa secara universal, menjaga harta Muslim atau non Muslim, dan sebagainya," jelas dia. 

Dalam kesempatan tersebut, Prof Kano pun mengajak ulama dunia agar tidak pernah ragu untuk berijtihad. Karena, menurut dia, produk hukum yang dibuat berabad-abad yang lalu belum tentu cocok untuk diterapkan di masa kini.  "Jika ada hukum yang merusak stabilitas, maka jangan diadopsi," tutupnya.   

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement