REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Keadaan geopolitik Arab pada masa datangnya risalah Alquran adalah diapit dua adidaya, yakni Romawi yang berkiblat pada Nasrani dan Persia yang Majusi. Romawi memiliki sekutu terdekat Arab, yakni Kerajaan Najasyi. Sementara itu, sekutu terdekatnya Persia adalah Yaman.
Dalam kondisi demikian, jejak-jejak ajaran Nabi Ibrahim dan prinsip agama yang hanif kurang menonjol karena tidak memegang kendali seutuhnya atas pengurusan Kabah.
Alhasil, Baitullah itu dijejali banyak berhala dan syariat haji sama sekali melenceng dari ketentuan yang digariskan sejak Nabi Ibrahim AS.
Sebagai contoh, pada masa jahiliyah itu, orang-orang musyrik melakukan tawaf dengan bersorak-sorai dan bahkan telanjang.
Di antara tokoh-tokoh sebelum adanya risalah Alquran, yang setia pada ajaran tauhid Nabi Ibrahim AS, adalah Qus bin Saidah al-Iyadi, As'ad Abu Karib al-Himyari, Ubaid bin al- Abrash al-Asadi, dan Kaab bin Luay bin Ghalib al-Quraisysalah seorang kakek Rasulullah SAW. Mereka dan para pengikutnya menjalankan syariat Nabi Ibrahim AS.
Misalnya adalah berhaji dengan semestinya ke Baitullah, mandi ketika junub, berkhitan, dan berkurban hanya untuk Allah SWT. Mereka tidak mau memakan daging kurban yang diperuntukkan berhala.
Mereka juga gemar bersunyi diri (iktikaf) biasanya di gua-gua untuk menemukan kedamaian, menganggap haram memakan darah, daging babi, dan bangkai, serta melarang menguburkan anak perempuan (atau siapa pun) hidup-hidup.
Menurut Abdul Aziz (2016), banyak di antara para pengikut tauhid millah Ibrahim yang bisa membaca dan menulis. Bahkan, ada pula yang pakar kitabullah (ahlul kitab), walaupun tidak sampai memeluk Yahudi atau Nasrani, karena dinilainya kurang mampu melegakan dahaga batin mereka yang meyakini tauhid murni.
Kelak, Alquran sendiri menegaskan bahwa Nabi Ibrahim AS bukanlah dari golongan Yahudi maupun Nasrani. Lihat, misalnya, surat Ali Imran ayat ke-65 hingga 68.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ إِلَّا مِنْ بَعْدِهِ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَٰذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آمَنُوا ۗ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir? Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.”
Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW
Allah SWT melalui firman-Nya itu menyangkal klaim-klaim tak mendasar dari pemuka Yahudi dan Nasrani yang ingin agar sang Khalilullah itu diakui sebagai bagian dari kubu masing-masing. Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut seakan-akan Allah SWT menyindir dua kaum tersebut.
Bagaimana mungkin Ibrahim memeluk agama kalian, sedangkan syariat yang diberlakukan kepada kalian terpaut jangka waktu yang sangat panjang setelah Ibrahim?
Maka dari itu, jelaslah bahwa Nabi Ibrahim AS berada di jalan yang lurus, yakni tauhid dengan semurni-murninya keyakinan bahwa hanya Allah yang pantas disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.