Rabu 08 Feb 2023 18:35 WIB

Literasi dan Tantangan Peradaban NU

Nahdlatul Ulama tak kekurangan penulis hebat dalam membuat karya tulis berbahasa Arab.

Rep: Rumah Berkah/ Red: Partner
.
Foto: network /Rumah Berkah
.

Kitab kuning menjadi rujukan bagi ulama dan para santri dalam menggali ilmu pengetahuan. (Foto; Dok. Republika/Rachmawati La'lang) 
Kitab kuning menjadi rujukan bagi ulama dan para santri dalam menggali ilmu pengetahuan. (Foto; Dok. Republika/Rachmawati La'lang)

Oleh Syahruddin El-Fikri

Organisasi jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, atau genap 100 tahun (satu abad) usianya kini (Selasa, 16 Rajab 1444 H), bila merujuk pada kalender hijriyah. Sedangkan berdasarkan kalender miladiyah (masehi), organisasi NU didirikan pada 31 Januari 1926, atau berusia sekitar 96 tahun, oleh Hadratusysyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Organisasi yang didirikan ini bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaru atau modernis. Tujuan besar ini tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) NU pasal 2 dan 3.

Pada abad ke-2 ini, NU yang dikomandani Rais Aam KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, membawa tema besar, yakni Merawat Jagat Membangun Peradaban. Secara singkat dapat dimaknai bahwa tugas NU tak hanya berhenti pada wilayah nasional (Indonesia), tetapi seluruh dunia (jagat) dengan upaya membangun peradaban yang lebih baik, mencerdaskan, dan membawa kemaslahatan bagi manusia dan alam.

Kini di abad kedua, NU memiliki tantangan yang sangat besar, di antaranya dalam dunia literasi dan digital. Era yang semakin berubah, NU harus terus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman. Kaidah Al-Muhafazhatu ‘Alaa Qadiimi As-Shalih, Wa Al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah, menjaga dan merawat tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik, terus diperhatikan dan dikembangkan pengurus Nahdlatul Ulama. Tujuan besarnya adalah sebagaimana tujuan NU, yang merawat tradisi yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sejak awal berdirinya, para muassis Nahdlatul Ulama telah peduli dengan tradisi dunia literasi (tulis menulis). Sebut saja nama Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan lainnya. Juga para guru dari tokoh-tokoh tersebut. Seperti Mbah Cholil Bangkalan, KH. Soleh Darat As-Samarani, Syekh Mahfudz at-Tirmasi, dan lainnya.

Mereka semua punya karya nan fenomenal dan menjadi rujukan para santri, bahkan masyarakat internasional. Misalnya, karya Mbah Hasyim Asy’ari yang berjudul Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyah Nahdhatul Ulama’, Adab Alim wa al Muta’allim, dan masih banyak lagi.

Pun begitu dengan KH. Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin, memiliki buah karya yang sangat bermanfaat bagi umat hingga kini. Bahkan para guru-guru mereka seperti Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Syekh Ihsan Jampes, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan berbagai nama besar lainnya, memiliki karya yang sampai hari ini masih dipelajari di pesantren, dan juga Muslim di dunia.

Lanjut....


Tantangan Peradaban NU

Inilah salah satu tantangan besar NU di abad kedua ini, yakni membiasakan dan mentradisikan kembali budaya menulis kitab oleh para kyai, ulama, yang menjadi tokoh panutan santri. Sehingga nama dan karya mereka, akan lestari dan abadi di hati umat.

Saat ini, mungkin tidak banyak tokoh atau ulama NU yang mampu menulis karya dalam Bahasa Arab. Jika menulis dalam Bahasa Indonesia, tentu sangat banyak. Tapi khusus kitab yang berbahasa Arab, sepertinya belum banyak untuk saat ini. Semoga ke depan semakin banyak.

Penulis bersyukur dengan struktur kepengurusan PBNU saat ini, yakni Rais Aam KH Miftachul Achyar dan Ketua Umum PBNU Gus Yahya memasukkan nama-nama ulama penulis NU ke dalam struktur kepengurusan. Di antara nama yang tidak banyak itu, rasanya wajar untuk lebih diunggulkan nama-nama berikut yang memiliki kepedulian besar dalam dunia literasi dan kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab. Di antaranya KH Afifuddin Muhajir, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), Dr. KH. Afifuddin Dimaythi Romly (Gus Awis), dan KH. Zulfa Musthofa.

Perayaan Harlah<a href= Satu Abad Nahdlatul Ulama (screenshoot)" />
Perayaan Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama (screenshoot)

Penulis melihat tokoh-tokoh ini telah mengikuti para pendahulu dan muassis NU yang ‘hobi’ menulis kitab (karya) dalam Bahasa Arab. KH. Afifuddin Muhajir yang menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU memiliki karya berbahasa Arab, di antaranya Al-Luqmah al-Sāighah (pengantar dalam dalam ilmu Nahwu, dan kitab ini dijadikan pelajaran di Madrasah Ibtida’iyah Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Sitobondo). Kemudian ada Fatḥ al-Mujīb al-Qarīb, syaraḥ atau komentar terhadap Kitab Taqrīb, Al-Aḥkām al-Syar’īyah baina al-Ṡabāt wa al-Murūnah (kitab ini awalnya merupakan tesis beliau di Pascasarjana Universitas Islam Malang), Al-Wasaṭiyah al-Islamiyyah Wa Madzāruha Fi Daulati Pancasila (materi yang disampaikan dalam acara International Conference of Islamic Scholars di Pesantren al-Hikam Depok), dan Daulah al-Pancasila fi Mandzūr al-Siyāsī ulama al-Basantrin wa Nahdlatul Ulama.

Kemudian KH. Zulfa Musthofa, beliau dikenal sebagai sosok ulama yang unik, karena kerap memunculkan syair-syair atau pujian untuk seseorang tokoh. Di antara karya beliau adalah kitab al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi Li al-Mutafaqqih Jahluhu dan kitab Diqqat al Qonnas fi Fahmi Kalam al-Imam al-Syafi'i.

Tokoh lainnya yang tak kalah hebat adalah KH. Bahauddin Nursalim, atau akrab disapa Gus Baha. Gus Baha menjadi rujukan para tokoh besar dalam bidang tafsir, fikih, tasawuf, dan lainnya. Di antara karya Gus Baha adalah Hafadzana li Hadza Al-Mushaf li Baha’uddin Nur Salim dan kitab tafsir Al-Qur’an versi UII. Dalam tafsir ini beliau berusaha agar karakteristiknya lekat dengan rasa Indonesia tanpa mengubah makna Al-Qur’an.

Lanjut....


Kemudian ada Dr. KH. Afifuddin Dimaythi Romly atau Gus Awis. Dalam usia yang relatif muda, lahir pada 7 Mei 1979, ia telah menulis sejumlah karya dalam Bahasa Arab. Antara lain Muhadarah fi Ilm Lughah al Ijtima’i (Dar Ulum al Lughawiyah, Surabaya, 2010), Mawarid al Bayan fi Ulum al Qur’an (Lisan Arabi, 2014), Safa al Lisaan fi I’rab al Qur’an (Lisan Arabi, 2015), al-Syamil fi Balaghat al-Quran (3 jilid, 2019), Irsyad al-Darisin ila Ijma’ al-Mufassirin, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluh wa Manahijuhu (Lisan Arabi, 2019), Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid, Lisan Arabi, 2019).

Dalam sebuah kesempatan, Gus Awis pernah mengatakan kepada penulis bahwa tradisi ulama NU dalam hal menulis karya berbahasa Arab harus terus dilestarikan. Karena itu, kata Gus Awis, dengan bekal pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan Bahasa Arab yang baik, sudah selayaknya bila dirinya dan juga generasi muda NU untuk terus melahirkan karya-karya terbaik agar menjadi rujukan para santri di masa depan.

NU Tak Kekurangan Penulis Hebat

Ini menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama tidak kekurangan tokoh penulis kitab sebagaimana ulama tempo dulu. Penulis yakin dan percaya, banyak ulama dan tokoh NU yang sanggup serta mampu menulis karya dalam Bahasa Arab. Kemampuan menulis karya dalam Bahasa Arab oleh orang non-Arab, jelas merupakan suatu keunggulan dan kelebihan. Dan sebuah peradaban hanya mampu dibuat oleh mereka yang unggul. Dan untuk menjadi manusia yang unggul dalam membangun peradaban, setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki, yakni kemampuan membaca (iqra’), menulis (kitabah), dan berdiskusi (musyawarah).

Pemandangan Harlah<a href= Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo (screenshoot)" />
Pemandangan Harlah Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo (screenshoot)

Peradaban sebuah bangsa atau kaum, tak mungkin dilepaskan dari tiga hal tersebut. Dan yang membuat peradaban, mereka itulah orang-orang yang unggul atau cerdas, serta ahli di bidangnya.

Sebagai contoh, bila ada 100 ulama berdiskusi dengan 10 insinyur dalam membuat konstruksi jembatan, maka tidak bisa mengambil dari 100 ulama, tetapi yang diambil adalah pendapat dari 10 insinyur, karena mereka yang lebih ahli dalam bidang konstruksi jembatan. Sebaliknya, bila 100 insinyur berdiskusi dengan 10 ulama terkait awal puasa, maka yang diambil pendapatnya adalah dari kalangan ulama, karena mereka yang ahli dalam bidangnya.

Peradaban yang dibangun harus dimulai dari pondasinya. Pondasinya ada di pondok-pondok pesantren yang diampu oleh para kyai, ulama, asatidz, untuk para santrinya. Merekalah yang membina para santri untuk menjadi tokoh di masa depan. Bila dari dini para santri tidak dilatih dalam hal membuat karya, maka dapat dipastikan peradaban berikutnya akan runtuh. Dan ulama, para kyai, berperan besar dalam melestarikan tradisi menulis tersebut.

Lanjut...


Sejumlah warga Nahdliyyin saat menghadiri Harlah Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo, Selasa, Februari 2023, 16 Rajab 1444 H. (screenshoot).
Sejumlah warga Nahdliyyin saat menghadiri Harlah Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo, Selasa, Februari 2023, 16 Rajab 1444 H. (screenshoot).

Peringatan Satu Abad NU yang mengangkat tema Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru, harusnya mampu melahirkan generasi terbaik di masa depan. Dan lagi-lagi, para kyai, ulama menjadi ujung tombak peradaban di masa depan, sekaligus dalam upaya melestarikannya.

Ada istilah yang patut direnungkan oleh masyayikh Nahdlatul Ulama. Kehancuran sebuah peradaban itu juga dikarenakan tiga hal. Pertama, kehancuran sebuah keluarga, terutama peran dari ibu. Ibu sebagai madrasatul ula, menjadi garda terdepan terjaganya sebuah peradaban dalam pendidikan anak.

Kedua, kehancuran pendidikan. Ilmu sangat penting, tetapi dalam pendidikan, yang terpenting adalah akhlak atau adab. Bila pendidikan hanya mengedepankan mengejar ilmu semata, maka bersiaplah pendidikan akan hancur, karena ia sia-sia belaka. Setinggi apapun ilmu seseorang, setinggi apapun pangkat dan kedudukan seseorang, jika dia tidak beradab/berakhlak, maka nilainya adalah nol.

Lanjut...


Terakhir, atau yang ketiga, kehancuran atau runtuhnya sebuah peradaban adalah bila tokoh panutan tidak bisa menjadi teladan. Pangkat yang tinggi dan harta yang berlimpah, tak ada artinya bila tidak bermanfaat. Pun demikian halnya dengan ketokohan seseorang, nama besar tak ada nilainya bila dirinya tidak bisa menjadi teladan bagi pengikutnya atau masyarakat umum.

Oleh karena itu, memasuki abad kedua Nahdlatul Ulama, saatnya mendigdayakan NU untuk kebangkitan baru yang lebih baik, lebih beradab, dan lebih mashlahat. Aamiin ya Rabbal Alamiin.

*) Syahruddin El-Fikri, warga NU, jurnalis, tinggal di Depok.

Artikel Terkait:

NU Depok Adalah Rajawali

Apel Akbar Satu Abad NU di Depok

Pesantren Tertua di Indonesia, Adakah Pondok Kalian?

Twibbon Satu Abad NU

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement