REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan UKM (MenKop UKM) Teten Masduki menyebutkan, terdapat kendala dalam menyalurkan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk koperasi sawit yang bakal memproduksi dan mengelola minyak makan merah.
"Kami terkendala untuk aturan menyalurkan dana BPDPKS untuk koperasi petani sawit. Ada Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) tapi rumit. Jadi sulit untuk dijalankan," ujar Teten dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Oleh karena itu, produksi minyak makan merah yang sebelumnya ditargetkan bakal berproduksi pada Januari 2023 belum dapat terealisasi karena membutuhkan satu regulasi penunjang. "Presiden perintahkan saya buat perpres saja," paparnya.
Dalam kesempatan itu, Teten menuturkan, proyek percontohan minyak makan merah yang bakal beroperasi di tiga kabupaten di Sumatera Utara yakni Langkat, Asahan, dan Deli Serdang serta Kalimantan akan menjadi kekuatan karena bakal dipasarkan dengan harga murah. "Ini murah karena terintegrasi (pabrik dengan kebun sawit)," paparnya.
Pabrik minyak makan merah didesain per 1.000 hektare perkebunan sawit dan akan dibangun satu pabrik minyak makan merah di area yang tidak berjauhan. Sehingga hal ini akan memangkas biaya logistik. Harga minyak makan merah diperkirakan bakal dipasarkan dengan harga Rp 9.000 per liter dengan mengikuti fluktuasi harga crude palm oil (CPO) dan tandan buah segar (TBS).
Perihal produksi, dijelaskan juga standar nasional Indonesia (SNI) telah terbit dan dalam praktiknya dikhususkan untuk koperasi, serta tidak diijinkan untuk industri besar. Teten menekankan, regulasi minyak goreng reguler berada di dalam peraturan Kementerian Pertanian, sedangkan minyak makan merah berada di bawah Kemenkop UKM. Proyek percontohan yang didanai BPDPKS sebesar Rp 70 triliun ini sempat dikhawatirkan Presiden Jokowi tidak dapat terserap oleh pasar. Namun ternyata negara tetangga yakni Malaysia mulai memesan minyak makan merah.