REPUBLIKA.CO.ID, ANTAKYA -- Turki mulai bekerja membangun kembali rumah-rumah setelah gempa bumi dahsyat bulan ini. Lebih dari 160 ribu bangunan berisi 520 ribu apartemen runtuh atau rusak parah dan menewaskan puluhan ribu orang di Turki dan negara tetangga Suriah.
Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat (AFAD) mengumumkan, jumlah korban tewas di Turki akibat gempa bumi naik menjadi 44.218 pada Jumat (24/2/2023) malam. Dengan jumlah korban tewas terbaru yang diumumkan Suriah sebanyak 5.914, jumlah korban tewas gabungan di kedua negara naik menjadi di atas 50 ribu.
Rencana awal pemerintah Turki sekarang adalah membangun 200 ribu apartemen dan 70 ribu rumah tapak dengan biaya setidaknya 15 miliar dolar AS. Bank Amerika Serikat JPMorgan memperkirakan pembangunan kembali rumah dan infrastruktur akan menelan biaya 25 miliar dolar AS.
UNDP mengatakan diperkirakan kerusakan itu menyebabkan 1,5 juta orang kehilangan tempat tinggal, dengan 500 ribu rumah baru dibutuhkan.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu telah meminta 113,5 juta dolar AS dari dana semiliar dolar AS yang diajukan pekan lalu. Dana tersebut akan memfokuskan uang ini untuk membersihkan tumpukan puing.
UNDP memperkirakan bencana tersebut menghasilkan antara 116 juta hingga 210 juta ton puing. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan 13 juta ton puing setelah gempa bumi di barat laut Turki pada 1999.
Turki juga mengeluarkan peraturan baru dengan perusahaan dan badan amal dapat membangun rumah dan tempat kerja untuk disumbangkan ke Kementerian Urbanisasi. Nantinya oleh pemerintah bantuan ini akan diberikan kepada warga yang membutuhkan.
Menghadapi pemilihan dalam beberapa bulan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berjanji membangun kembali rumah dalam waktu satu tahun.Meskipun para ahli mengatakan, pihak berwenang harus mengutamakan keselamatan sebelum kecepatan.
Beberapa bangunan yang dimaksudkan untuk menahan getaran runtuh akibat gempa bumi terbaru.
"Untuk beberapa proyek, tender dan kontrak telah dilakukan. Prosesnya berjalan sangat cepat," kata pejabat yang berbicara tanpa menyebut nama, menambahkan tidak akan ada kompromi pada keselamatan.