REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, kebangkrutan bank asal Amerika Serikat (AS) Silicon Valley Bank (SVB) memiliki dampak positif. Dampak dimaksud yaitu, Bank Sentral AS The Fed tidak akan terlalu agresif lagi menaikkan suku bunga acuannya atau Fed Fund Rate (FFR).
Seperti diketahui, tingginya inflasi di Negeri Paman Sam tersebut yang mencapai sembilan persen, membuat The Fed terus menaikkan FFR.
"Dengan adanya bank yang sudah kesandung, saya rasa The Fed nggak terlalu agresif lagi (naikkan suku bunga acuan) ke depan, sampai situasi bank bisa adaptasi agar bisa normalisasi suku bunga," jelas Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto dalam Diskusi Online Indef, Kamis (16/3/2023).
Ia memperkirakan, FFR ke depan akan lebih landai. Hal itu, kata dia, seharusnya membuat tekanan terhadap mata uang rupiah juga berkurang.
Hanya saja, lanjutnya, dengan catatan volatilitas di pasar modal bersifat temporer. Jadi jika kasusnya mulai tidak ramai, saham perbankan di Tanah Air dapat kembali meningkat.
"Kalau nggak temporer, kemewahan tidak agresifnya FFR tidak bisa dinikmati rupiah. Bagaimana pun volatile keuangan dan pasar modal berhubungan," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Eko menuturkan pengaruh bangkrutnya SVB terhadap perekonomian Indonesia secara langsung kecil. Alasannya, hubungan antara SVB dengan startup di Tanah Air tidak besar.
Ia nenjelaskan, kondisi fundamental perbankan di dalam negeri juga masih menggambarkan situasi yang sangat percaya diri. "Pada krisis 2008, Indonesia selamat dengan model bisnis perbankan kita yang tidak terlalu rumit dan tidak terkorelasi ke dunia internasional secara dalam," jelasnya.
Dirinya yakin perbankan nasional masih cukup kuat. Meski begitu, kata dia, bukan berarti Indonesia tidak melakukan apa pun.