Namun, saat itu ia ragu dengan kehalalan makanan yang disuguhkan masyarakat. hal ini karena masyarakat masih suka memakan olahan daging dari hewan-hewan yang tidak boleh dimakan, seperti tikus dan ular.
Syekh Burhanuddin lalu berinisiatif mencontohkan memasak nasi dalam ruas bambu yang dilapisi daun. Karena nasi tidak tahan lama, lalu diganti dengan ketan atau beras pulut.
"Cara masak Syekh Burhanuddin tersebut lalu ditiru oleh orang-orang di sekitar surau tempat ia mengajar. Begitulah ceritanya. Itulah asal mula lamang," ujar Nasir.
Namun, lamang juga ditemukan sebagai makanan tradisional di Riau, Bengkulu, Jambi, Malaysia, Suku Dayak, dan beberapa daerah lainnya. Bagaimana pula asal usulnya, apa terkait juga dengan Syekh Burhanuddin, lain pula pasal pembahasannya.
Bagaimana lamang berubah menjadi tradisi tak banyak sumber yang bisa dirujuk. Budayawan Emha Ainun Najib (2018) mengatakan terkait asal-usul penciptaan tradisi apapun bisa ‘dibisa-bisakan’, ‘disambung-sambungkan’, dan bisa dicocokkan.
Namun, merujuk kepada perkembangan hantaran dalam acara kekerabatan, maka diduga kuat lamang menjadi salah satu bentuk perubahan yang sifatnya menambah dalam hantaran adat di Minangkabau.