REPUBLIKA.CO.ID, AGAM -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengatakan fenomena perubahan iklim global akhir-akhir ini kian mengkhawatirkan. Menurut Dwi, perubahan iklim sudah memicu dampak yang lebih luas dan menciptakan bencana hidrometeorologi basah dan kering.
"Fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan. Memicu bencana hidrometeorologi. Bahkan bencana hidrometeorologi kini rutin terjadi setiap tahun. Peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi juga terjadi. Tidak hanya di Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara,"kata Dwikorita Karnawati, di Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) Bukitkoto Tabang, Kabupaten Agam, Senin (20/3/2023).
Dwikorita menjelaskan, berdasarkan data BMKG, pada tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk wilayah Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 derajat celcius. Kondisi ini, sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020.
Dwikorita Karnawati menyebut pada tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 derajat celcius. Kemudian tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 derajat celcius.
"Laporan terbaru WMO dalam State of the Climate 2022 yang terbit awal tahun 2023 lalu menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat ke enam tahun terpanas dunia. 2015-2022 menjadi delapan tahun terpanas dalam catatan WMO," ucap Dwikorita.
Kondisi ini kata dia yang mengakibatkan lebih cepat mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 kilometer persegi, maka kini hanya menyisakan dua kilometer persegi atau tinggal satu persen.
Dwikorita menambahkan akibat perubahan iklim ini, kejadian-kejadian ekstrim lebih kerap terjadi. Terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50 hingga 100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.