REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan budi daya ikan nila di Papua sebagai salah satu upaya meningkatkan produksi perikanan budi daya nasional. Selain karena ketersediaan lahan, minat konsumsi ikan nila di Papua juga tinggi.
"Papua mempunyai potensi lahan sangat luas, termasuk di Jayapura dan cocok untuk pengembangan budi daya ikan nila, selain itu minat konsumsi ikan nila masyarakat Papua sangat tinggi. Harapannya ini mampu meningkatkan produksi dan ekonomi di Jayapura dan Papua pada umumnya,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Tb Haeru Rahayu di Jakarta, Kamis (23/3/2023).
Haeru berharap pengembangan budi daya ikan nila di Papua mampu mendukung peningkatan produksi budi daya ikan nila nasional yang ditargetkan mencapai sekitar dua juta ton di 2023. Hal ini diharapkan juga mampu memenuhi permintaan pasar terhadap komoditas ikan yang juga meningkat.
Selain untuk konsumsi lokal, Haeru menyebut, ikan ini juga merupakan komoditas ekspor terutama ke Amerika Serikat (AS) yang diekspor dalam bentuk fillet. Saat ini, ucap Haeru, bisnis budi daya ikan nila masih menjadi salah satu bisnis yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia.
Pasalnya, pengelolaan budi daya yang relatif mudah. Selain itu, komoditas ikan nila sangat diminati masyarakat dan memiliki daya tahan yang baik terhadap penyakit.
"Ikan nila termasuk ikan yang kuat terhadap serangan penyakit, masa pemeliharaan hanya tiga sampai empat bulan. Makanya komoditas ini sangat cocok untuk menjadi usaha dan bisnis budi daya di masyarakat, karena sangat menjanjikan dan peluang menghasilkan keuntungan lebih besar," ucap Haeru.
Berdasarkan Trademap 2021, Indonesia termasuk sebagai negara posisi kelima sebagai negara pengekspor produk ikan nila di pasar global. "Selain udang dan komoditas lain, ikan nila pun akan menjadi prioritas untuk terus kami kembangkan. Bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri tapi untuk ekspor. Dengan potensi lahan, tenaga kerja, teknologi budidaya yang tersedia dan telah dikuasai, serta tersedianya jaminan mutu, produksi dan peningkatan ekspor bisa lebih baik," kata Haeru.
Sementara itu, Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Tatelu, Christian Maikel Eman, menjelaskan keunggulan budi daya ikan nila sistem bioflok yang digunakan di Papua. Hal itu antara lain padat tebar yang lebih tinggi bisa mencapai 100 ekor per meter kubik, sehingga panen bisa lebih banyak. FCR budi daya ikan nila sistem bioflok 0,8-1. Pada sistem biasa 1,3-1,5, ada efisiensi penggunaan pakan serta efisiensi lahan.
“Konsep budi daya ikan nila sistem bioflok dinilai pas dan tepat untuk diterapkan di tanah Papua," ujar Eman.
Eman menyampaikan, KKP telah memberikan bantuan unit mesin pakan ikan mandiri dan budi daya ikan nila sistem bioflok serta penyediaan benih unggul. Selain itu, untuk mempercepat terwujudnya kesuksesan pengembangan budi daya ikan nila sistem bioflok, KKP juga memberikan pendampingan teknologi oleh tenaga ahli yang didatangkan dari BPBAT Tatelu dan juga bantuan penyuluh.
Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Nila Sistem Bioflok, Pokdakan Raliyauw, Frans Pouw mengakui, keuntungan dengan bioflok, mudah perawatannya, pascapanennya mudah, dan bisa menghemat pakan.
"Satu kolam bioflok kami tebar 1.000 ekor, ditargetkan panen 250 kg per siklus per kolam atau dengan menerapkan sesuai apa yang diajarkan, kami menargetkan bisa berhasil panen ikan nila sebanyak dua ton dari delapan kolam per siklus," kata Frans.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan produksi tilapia atau ikan nila akan terus digenjot mengingat besarnya permintaan pasar internasional terhadap komoditas perikanan tersebut. KKP akan fokus pada komoditas yang berorientasi ekspor berbasis komoditas unggulan di pasar global antara lain udang, lobster, kepiting, rumput laut, dan nila.