REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Sekelompok masyarakat sipil, demonstran yang mengatas namakan Masyarakat Good Governance pada Ahad (26/3/2023), meminta Mahkamah Agung Israel untuk menghukum Perdana Menteri Benjamin Netanyahu karena diduga melanggar sumpah jabatan dan memiliki konflik kepentingan mengelak dari segala urusan peradilan negara saat dia sedang akan diadili atas tindak pidana korupsi.
Permintaan kelompok gerakan untuk Pemerintahan Israel yang Berkualitas ini terus menyuarakan adanya pertikaian antara pemerintah Netanyahu dan pengadilan, yang coba dirombak oleh Netanyahu dalam rencana kontroversial yang telah memicu penentangan luas di seluruh negara Zionis ini.
Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas di Israel, penentang keras perombakan tersebut, mereka meminta pengadilan untuk memaksa Netanyahu mematuhi hukum dan memberinya sanksi, baik dengan denda atau hukuman penjara apabila tidak mentaatinya. Mereka juga mengatakan Netanyahu tidak kebal hukum.
“Seorang perdana menteri yang tidak mematuhi pengadilan dan ketentuan undang-undang adalah hak istimewa dan seorang anarkis,” kata Eliad Shraga, ketua kelompok tersebut.
Ia menggemakan bahasa yang digunakan oleh Netanyahu dan sekutunya untuk memprotes penentang perombakan tersebut. "Perdana menteri akan dipaksa untuk menundukkan kepalanya di depan hukum dan mematuhi ketentuan hukum," katanya.
Netanyahu dilarang oleh jaksa agung negara itu untuk berurusan dengan rencana pemerintahnya untuk merombak peradilan, berdasarkan perjanjian konflik kepentingan yang harus dia lakukan, dan yang diakui Mahkamah Agung dalam putusan atas kelayakan Netanyahu untuk bertugas saat diadili karena korupsi.
Tetapi pada hari Kamis, setelah parlemen mengesahkan undang-undang yang mempersulit untuk mencopot perdana menteri yang sedang duduk, Netanyahu mengatakan dia tidak terbelenggu oleh keputusan jaksa agung itu, dan berjanji untuk mengatasi krisis dan memperbaiki 'keretakan' di negara tersebut. Deklarasi itu mendorong Jaksa Agung Israel, Gali Baharav-Miara, untuk memperingatkan bahwa Netanyahu melanggar perjanjian konflik kepentingannya dengan memasuki persengketaan.
Perkembangan hukum dan politik yang bergerak cepat telah melambungkan Israel ke wilayah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan ke krisis konstitusional yang berkembang, kata Guy Lurie, seorang peneliti di Israel Democracy Institute, sebuah think tank Yerusalem.
“Kami berada di awal krisis konstitusional dalam artian ada ketidaksepakatan mengenai sumber otoritas dan legitimasi dari berbagai badan pemerintahan,” katanya.
Jika Netanyahu terus campur tangan dalam perombakan hukum seperti yang dia janjikan, Baharav-Miara dapat meluncurkan penyelidikan apakah dia melanggar perjanjian konflik kepentingan, yang dapat menyebabkan tuntutan tambahan terhadapnya, kata Lurie. Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas mengatakan pengadilan telah memberi Netanyahu dan jaksa agung waktu seminggu untuk menanggapi.
Netanyahu diadili atas tuduhan penipuan, pelanggaran kepercayaan dan menerima suap dalam tiga perkara terpisah yang melibatkan rekan pengusaha dan raja media yang kuat. Dia menyangkal melakukan kesalahan dan menolak kritik yang mengatakan dia akan mencoba mencari jalan keluar dari dakwaan melalui pemeriksaan hukum.
Perombakan sistem hukum tersebut akan memberikan kontrol pemerintah atas siapa yang menjadi hakim dan membatasi uji materi atas keputusan dan undang-undang pemerintah. Netanyahu dan sekutunya mengatakan rencana itu akan mengembalikan keseimbangan antara cabang yudisial dan eksekutif dan mengendalikan apa yang mereka lihat sebagai pengadilan intervensionis dengan simpati liberal.
Kritikus mengatakan rencana itu justru menjungkirbalikkan sistem check and balances Israel yang rapuh dan mendorong Israel ke jalan menuju otokrasi.
Pemerintah telah berjanji untuk meloloskan bagian penting dari perombakan minggu ini sebelum parlemen mengambil reses sebulan, tetapi tekanan telah meningkat pada Netanyahu untuk menangguhkan rencana tersebut.