MAGENTA -- Hari ini 193 tahun lalu, Belanda menangkap Pangeran Diponegoro. Peristiwa itu terjadi pada 28 Maret 1830 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri (2 Syawal 1245 Hijriyah).
Pangeran Diponegoro dijebak oleh Letnan Hendrik Merkus de Kock yang mengundangnya ke wisma keresidenan di Magelang. De Kock meringkus Pangeran Diponegoro saat perundingan masih berlangsung.
Tujuan penangkapan karena Belanda ingin mengakhiri Perang Diponegoro atau Perang Jawa 1825-1830. Belanda sudah kelelahan dengan perang tersebut.
Sejarah mencatat dalam perang itu dilaporkan 8.000 serdadu Hindia menjadi korban, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa, serta kerugian materi 25 juta gulden. Bagi De Kock, pengakhiran Perang Diponegoro dengan cara curang itu menjadi kenangan buruk dalam kehidupannya.
“Barangkali kenangan itu tidak pernah terlepas dari perasaan yang mengganggu. Seperti dia sendiri telah mengakui perbuatannya di Magelang tidak ksatria dan tidak jujur,” tulis Harm Stevens dalam buku Yang Silam Yang Pedas, Indonesia dan Belanda Sejak Tahun 1600.
Baca juga: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Nama Diponegoro saat baru lahir adalah Bendara Raden Mas Mustahar. Namanya kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.
Nama Islam Diponegoro adalah Abdul Hamid. Diponegoro juga punya nama lain Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Ayah Pangeran Diponegoro bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang naik takhta bergelar Hamengkubuwana III. Ibunya adalah seorang seorang selir bernama R.A. Mangkarawati.
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Alasannya karena ibunya bukan sebagai istri permaisuri. Ibunya hanya seorang selir. Diponegoro menganggap dirinya tidak layak menjadi raja.
Diponegoro lebih senang membaur dengan rakyat. Pangeran Diponegoro juga lebih tertarik pada bidang keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton. Sang pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo.
Baca juga: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Perang Diponegoro (1825–1830)
Perang ini dipicu oleh tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak.
Hingga ia mencetuskan sikap perlawanan. Kemudian, sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka mendapat dukungan dan simpati dari rakyat.
Sebagai strategi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Diponegoro mendapatkan dukungan dari Sunan Pakubuwana VI (PB VI)/ R.M. Saparan dan dibantu oleh Bupati Gagatan saat itu Tumenggung Prawiradigdaya/ R.M. Panji Yudha Prawira. Pangeran Diponegoro juga menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram.
Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi.
Baca juga: Orang Betawi Sakit Obatnya Cuma Dedaunan: Resep Ramuan Tradisional, dari Borok Hingga Keremian
Pangeran Diponegoro Meninggalkan Selarong
Puncak dari peperangan tersebut terjadi pada 1827. Belanda mengerahkan seluruh serdadunya yang berjumlah 23 ribu serdadu, suatu hal yang belum pernah ada di suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.
Namun, Belanda selalu gagal menangkap Pangeran Diponegoro. Dengan cara licik, Belanda membuat sayembara untuk menangkap Diponegoro.
Maklumat yang dikeluarkan pada 21 September 1829 berhadiah 50 ribu gulden, tanah, dan penghormatan bagi yang bisa menangkap Diponegoro baik hidup atau mati. Pada 25 Februari hingga 27 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi serius dan hanya ramah-tamah biasa hingga Ramadhan berakhir.
De Kock menyetujuinya. Namun, di balik itu ada agenda licik yang diterapkan Belanda.
Akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 dan diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Pangeran Diponegoro wafat di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.
Peristiwa tersebut diabadikan dalam bentuk lukisan oleh Raden Saleh Syarif Bustaman. Lukisan Penangkapan Diponegoro dibuat Raden Saleh ketika berada di Eropa pada 1856. Ia membuatnya dari sketsa terlebih dahulu. Lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian.
Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap menggunakan serban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah menunjukkan perlawanan, dan tegar meskipun para pengikutnya terlihat sedih dan dukacita yang mendalam. (MHD)
Baca juga:
Niat Puasa Ramadhan, Arab, Latin dan Terjemahan
Sukarno tak Puasa Ramadhan Saat Bacakan Teks Proklamasi, Apa Sebab?
Niat Sholat Tarawih Sendiri dan Berjamaah Serta Pilihan Doa Pendek
On This Day: 20 Maret 1602, Berdirinya Serikat Dagang Belanda VOC
Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja?