REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kembali bekerja setelah cuti melahirkan bisa menjadi sebuah transisi yang besar. Biasanya, seorang ibu akan merasakan emosi yang campur aduk dan kompleks.
Beberapa perasaan yang dirasakan ibu baru melahirkan adalah timbulnya rasa cemas dan bersalah karena harus meninggalkan bayi. Namun di sisi lain ada rasa semangat untuk kembali aktif bekerja lagi.
Itulah mengapa, dukungan dari rekan kerja sangat penting untuk memudahkan transisi agar orang tua sukses di dunia kerja. Seorang career coach, Becca Carnahan, mengatakan bahwa idealnya, rekan kerja bisa membantu kelancaran proses masuk kerja kembali. Sayangnya, ada banyak rekan kerja yang malah memberi komentar canggung, kasar dan tidak sensitif.
Dia dan beberapa pakar kemudian mengungkap berbagai jenis komentar yang harus dihindari, jika ingin menjadi rekan kerja yang suportif bagi seseorang yang baru saja kembali dari cuti melahirkan. Inilah uraiannya seperti dilansir laman Huffington Post, Rabu (29/3/2023):
1. "Pasti liburannya menyenangkan"
Carnahan mengatakan, banyak klien dan teman-temannya yang disambut kembali ke tempat kerja dengan komentar yang tidak sensitif ini. Mengambil cuti sebagai orang tua tentu saja bukan waktu istirahat yang santai, dan komentar umum seperti "bagaimana liburan kamu?" adalah hal yang bermasalah.
“Melahirkan adalah pengalaman fisik yang intens, dan bagi perempuan yang melahirkan, apa yang terjadi setelah kelahiran bayi juga bukan liburan. Membandingkan cuti melahirkan dengan liburan akan merendahkan kesehatan orang tua dan pekerjaan penting dalam membesarkan anak,” kata Carnahan.
2. "Apakah kamu tidak merindukan bayimu?"
Pernyataan ini mungkin terkesan tidak berbahaya dan bermaksud baik untuk menunjukkan ketertarikan pada kehidupan rekan kerja di luar pekerjaan. Namun menurut Carnahan, hal ini bisa memunculkan perasaan bersalah atau malu pada rekan kerja.
"Itu karena tentu saja mereka merindukan bayinya, namun di saat yang sama mereka mungkin senang bisa kembali bekerja. Pernyataan seperti ini juga mengirimkan sinyal bahwa sang ibu seharusnya memprioritaskan kebersamaan dengan bayinya di atas semua hal lainnya," ujar Carnahan.
3. "Aku terkejut kamu kembali bekerja"
Menurut Carnahan, ini adalah pernyataan lain yang memberikan kesan menghakimi bagi sebagian orang tua. Pernyataan ini bisa ditafsirkan sebagai “saya rasa kamu tidak bisa bekerja setelah menjadi ibu” atau “pilihan yang kamu ambil tidak sesuai dengan apa yang saya yakini sebagai orang tua yang baik”.
Namun pada kenyataannya, kapan dan bagaimana orang tua memilih untuk kembali bekerja setelah mengambil cuti bukanlah urusan siapapun termasuk rekan kerja. "Anda tidak tahu semua hal tentang mengapa orang tua memilih untuk tinggal di rumah sebagai pengasuh utama atau kembali bekerja, dan orang tua mungkin tidak ingin berbagi informasi ini di tempat kerja," kata Carnahan.
4. "Kamu terlihat lelah"
Komentar tentang penampilan bisa membawa penilaian implisit tentang bagaimana orang tua yang bekerja seharusnya terlihat. "Kamu terlihat lelah" misalnya, bukanlah komentar yang membantu atau inovatif untuk didengar para ibu atau ayah yang baru kembali bekerja.
"Komentar itu tidak membantu. Cukup dengan mengubahnya menjadi ‘Bagaimana aku bisa membantuku bertransisi kembali ke pekerjaan ini?’ akan jauh lebih membantu,” ujar pendiri dan CEO Center for Parental Leave Leadership, Amy Beacom.
5. "Kamu benar-benar meninggalkan kami dalam keadaan kacau" dan "Kami harus menanggung beban kerja selama kamu cuti"
Seorang advokat untuk hak pekerja yang berfokus pada hak-hak perempuan, Daphne Delvaux, mengatakan bahwa beberapa beberapa komentar tidak sensitif yang paling sering didengar adalah sebagai berikut: “Kamu seharusnya merasa tidak enak karena mengambil cuti. Kamu benar-benar meninggalkan beban untuk kami”.
“Apa yang terkadang kami lihat dalam budaya perusahaan adalah, umumnya tidak ada pelatihan mengenai manajemen cuti melahirkan," kata Delvaux, sambil mencatat bahwa ia sering melihat adanya gesekan saat tim merasa kewalahan karena ketidakhadiran karyawan.
Rekan kerja terkadang melampiaskan kekesalan tersebut kepada karyawan yang bersangkutan saat mereka kembali dari cuti, alih-alih mengomunikasikannya dengan manajemen. Delvaux menguraikan sebuah skenario yang umum terjadi: Seorang karyawan bernama Lisa mengambil cuti melahirkan dan perusahaan kekurangan tenaga kerja, sehingga Jim, rekan kerjanya, harus mengerjakan pekerjaan Lisa dan pekerjaannya sendiri, yang menyebabkan dia kewalahan dan marah pada Lisa.
"Itu adalah kegagalan operasional. Itu bukan salah Lisa, itu bahkan bukan salah Jim, tapi perusahaan tidak berencana untuk memperhitungkan kesenjangan dalam tenaga kerja,” jelas dia.