REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan secara transparan terkait pencopotan Brigjen Endar Priantoro dari jabatan direktur penyelidikan KPK. Menurut dia, KPK tidak cukup menjelaskan jika pencopotan hanya berdasarkan alasan administratif karena kini beredar informasi di publik jika pencopotan ini dikaitkan dengan penolakan Enggar menaikkan status penyelidikan Formula E.
"Ya memang benar KPK tidak meminta perpanjangan, tetapi alasannya itu apa? Itu tidak dijelaskan itu alasannya apa. Apakah alasannya karena Formula E di mana ada (informasi) ketegangan antara Firli dengan Karyoto dan Endar itu juga tidak dijelaskan," ujar Zaenur dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (5/4/2023).
Zaenur mengatakan, KPK harus dapat menjelaskan agar informasi spekulatif ini tidak berlarut-larut. Sebab, menurutnya, karena sejak awal KPK memang tidak transparan berkaitan dengan pencopotan Endar ini.
KPK hanya menyebut pencopotan karena alasan masa jabatan habis dan ingin dikembalikan ke Polri. Sementara kapolri telah melakukan surat perpanjangan tugas kepada Endar. Kemudian, KPK justru menyatakan tidak meminta perpanjangan tersebut.
"Saya lihat ini memang ini bisa menjadi front baru ya ketegangan antara KPK dengan Polri. Kenapa? Karena kapolri memperpanjang tugas Endar di KPK, sedangkan KPK mengembalikan KPK ke Polri. Jadi, ya ini serba-simpang siur," ujarnya.
Meskipun, Zaenur mengakui pencopotan pegawai di internal KPK adalah hal yang biasa dalam administrasi kepegawaian. Namun, menurut Zaenur, hal ini menjadi tidak bisa karena adanya sejumlah riwayat dalam lembaga antirasuah tersebut.
"Pertama, ada riwayat dugaan intervensi dari pimpinan KPK kepada para pejabat di bidang penindakan baik itu deputi maupun direktur, ya yang diduga pimpinan KPK, khususnya ketua KPK sangat menginginkan agar kasus Formula E itu naik ke tahap penyidikan," ujar Zaenur.
Zaenur menegaskan, pada prinsipnya dalam penyelidikan dan penyidikan, penyelidik dan penyidik itu tidak bisa diintervensi bahkan oleh ketua KPK. Pertama, ini karena menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan merupakan wewenang penuh dari penyelidik dan penyidik.
Dia menilai, kalau para penyelidik sudah memiliki alat bukti tentunya akan dinaikkan deputi penindakan menjadi penyidikan. Hal ini berbeda dengan rezim undang-undang sebelumnya yang menyertakan pimpinan KPK sebagai bagian penyidik dan bisa menetapkan tersangka.
"Nah, berbeda dengan Undang-Undang 19 Nomor 2019 di mana pimpinan KPK itu bukan merupakan penyidik sehingga tidak bisa mencampuri urusan apa pun di bidang pendidikan dan tidak bisa menetapkan sendiri penyidikan," ujarnya.
Zaenur juga berharap atas berbagai kekisruhan ini, Dewan Pengawas KPK untuk turun tangan. Khususnya, dia melanjutkan, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan, pejabat, maupun pegawai KPK lainnya.
"Pertama, soal memaksakan kehendak di dalam penyelidikan dan penyidikan yang diduga dilakukan oleh pimpinan, kemudian ingin memulangkan ke institusi Polri pejabat-pejabat yang tidak mau mengikuti kemauan dari pimpinan," ujarnya.
"Itu kan bentuk-bentuk pemaksaan ya itu juga bentuk sikap tidak profesional yang bisa merupakan pelanggaran kode etik dari pimpinan KPK ini dewas harus turun tangan," katanya.